Kamis, 30 April 2009

artikel pendidikan

PENDIDIKAN BUKAN MENCETAK SISWA MENJADI SEORANG PETARUNG


Pendidikan adalah sarana pembentukan karakter peserta didik, transfer ilmu dan pencapaian tingkat kebutuhan yang akan diabdikan kepada lingkungan atau negara dalam lingkup besar, membicarakan sebuah pembentukan karakter dimaksudkan agar peserta didik memperoleh suatu ahklak, moral dan budi pekerti yang mulia sehingga dalam kompetensi yang akan dicapai adalah kemampuan afektif. Kemampuan afektif ini akan memberikan dampak positif seperti wujud-wujud sikap positif yang diaplikasikan ke lingkungannya.
Pendidikan juga sebagai transfer ilmu dimana kemampuan berfikir atau knowlage menjadi acuan yang paling utama. Transfer ilmu ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan apapun yang berhubungan dengan materi pembelajaran ataupun diluar materi pembelajaran. Ketika membicarakan tentang konwlage atau kognitif, peserta didik mempunyai hak untuk mendapatkan suatu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Ketika memperoleh pengetauhan tersebut peserta didik seperti halnya filosofi pendidikan sekarang yang berbasis kompetensi adalah siswa merupakan subjek dalam pembelajaran. Dalam hal ini peserta didik dituntut kecakapanya dalam mencari pengetahuan sendiri dengan menggunakan media apapun untuk mencapai pengetahuan tersebut dengan mengikuti instruksi dari guru. Terkait dalam hal ini guru sebagai motifator dan fasiltator dalam proses pembelajaran guru lebih cenderung menanamkan moralitas ke anak didik dan lebih memperhatikan strategi atau metode dalam pembelajaran, baik itu dari kesiapan pserta didik dan kematangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang akan dicapai.
Pencapaian tingkat kebutuhan yang akan diabadikan pada lingkungan atau Negara dalam lingkup besarnya maksudnya pencapaian dalam memperoleh suatu yang dapat dimanfaatkan dan dapat didayagunakan untuk lingkungan, daerah atau negaranya. Sebagai bentuk hasil inovasi dalam pendidikan adalah kurikulum KTSP yang dimana karakteristik kurikulum ini lebih pada desentralisiasi atau otonomi pada sekolah-sekolah sehingga sekolah dapat memberikan atau mengembangkan kebutuhan daerahnya dengan mengaplikasikan pada sejumlah mata pelajaran yang relevan dengan kebutuhan daerahnya. Terkait dengan pendayagunaan segenap peran aktif sekolahan dapat membantu memberikan solusi bagi pengembangan di daerah sekolah tersebut dan memanfaatkan sumber kekayaan atau potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Pencapaian semua itu tidak lepas dari pencapaian kemampuan psikomotorik peserta didik. Dengan mengembangkan motorik-motorik peseta didik lewat rangsangan-rangsangan positf akan membentuk peserta didik yang mempunyai mental dalam persaingan menghadapi aman globalisasi.
Tidak terlepas dari itu, fenomenal yang terjadi di masyarakat dan berakar ke pendidikan suatu permasalahan yang sangat klasik namun sangat memperihatinkan adalah sebuah tindak kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Menindak lanjuti dari pengertian diatas tentang pendidikan sangat disayangkan ketika sejauh ini tindak kekerasan di dalam dunia pendidikan masih dapat dirasakan di sekolah-sekolahan dan tidak menutup kemungkinan yang melakukan tindak kekerasan tersebut adalah guru, namun tindak kekerasan yang diawali oleh guru sudah mulai di tanggapi dan ditangani sangat serius oleh pemerintah. Karena guru merupakan orang yang memberikan suatu petuah-petuah dan tauladan bagi siswanya, seperti pepatah orang-orang dulu adalah “guru kencing berdiri anak kencing berlari”, setiap perkataan dan perbuatan guru menjadi contoh bagi siswanya, ketika guru melakukan yang baik secara otomatis siswa juga lebih bersikap baik dan apa bila guru mempunyai perilaku yang kurang baiksecara otomatis juga perilaku siswanya akan lebih buruk dari perilaku gurunya. Berlandaskan pendekatan psikologis yang menyebutkan bahwa perilaku orang terhadap kita merupakan cerminan dari perilaku kita. Sehingga dari sini dapat kita simpulkan kemana larinya guru dalam mendidik siswa kesitu juga siswa melangkah. Karena perilaku siswa tidak terlepas pada kemampuan guru dalam mengkondisikan siswanya. bukan hanya itu guru jug merupakan sebagai fasilitator, motifator bagi perkembangan moralitas anak. Tindak kekerasan guru terhadap peserta didik walaupun masih ada dibeberapa sekolah tetapi sudah mulai diminamilisir tindak kekrasan tersebut. Seperti halnya pada sekolah-sekolahan didaerah walaupun mempunyai status negeri, akan tetapi masih menerapkan cara belajar yang bersifat militer, ambil contoh dari fakta yang relefan dan empirik setelah . sang guru menerangkan materi pelajaran yang berkaitan dengan mata pelajarannya, kini sang guru mencoba menayakan kembali kepada peserta didiknya, dan ketika peserta didiknya ada yang tidak bisa menjelaskan kembali dan menjawab pertanyaan dari sang guru dengan sepontan sang guru melayangkan tanganya kekepala anak didiknya. Tapi semua itu akhirnya dapat diproses oleh pihak sekolah akan tindakan sang guru tersebut.
Kasus-kasus kekrasan yang terjadi sungguh sangat tidak singkron dengan konsespsi dan tujuan pendidikan. Bahkan yang lebih parahnya lagi adalah kekerasan yang terjadai anatar golongan atau sekelompok pelajar yang dalam hal ini sangat kontradiktif dengan tujuan dan pengertian pendidkan itu sendiri. Masih saja kita lihat perkelahian antar pelajar, premanisiasi dikalangan pelajar, pemberontakan murid terhadap guru. Kasus-kasus seperti ini sangat memperihatinkan ambil contoh beberapa kasus yang belum lama ini terdengan adalah sekelompok pelajar wanita yang menamai dirinya sebagai geng “nero” di Pati, perkelahian antar pelajar SMA di Jakarta, perkelahian geng motor di Bandung yang mayoritas anggotanya adalah pelajar dan masih banyak lagi yang belum teridentifikasi. Itu semua dapat dijadikan introfeksi yang mendalam atau sebuah renungan dan sebagai bahan evaluasi menghadapi tindak-tindak kerasan yang terjadi di dalam pendidikan. Menurut arif rahman sebagai tokoh pengamat pendidikan kesalahan pendidikan kita sekarang adalah lebih merangsangkan otak kiri dalam proses pembelajaran tanpa menyeimbangkan otak kanan sebagai penyeimbang motorik dalam berprilaku. Otak kiri diprogram untuk segala sesuatu yang bersifat sistematis atau sesuatu yang bersifat pasti. Akan tetapi pengemabangan otak kanan terlanjur dikesampingkan, penanaman moralitas, dan ahklak serta yang bersifat pengembangan rangsangan motorik yang positif kurang dieksplorasi sehingga dalam penerapanya cenderung mencetak peserta didik yang siap untuk menjadi petarung. Sangat disayangkan ketika yang diharapkan oleh pendidikan peserta didik menjadi seorang yang dapat mengabdikan dirinya ke daerahnya dan Negara dalam lingkup besar, tapi kenyataanya peserta didik yang diharapkan belum dapat hadir dalam sosok yang mampu memberikan potensinya kedaerah dan negaranya.
Untuk memajukan martabat pendidkan sebagaimna penyelarasan tujuan dari pendidikan itu dapat tercapai secara komperhansif maka di dalam dunia pendidikan harus dan lebih memperioritaskan suatu yang benar-benar menjadi penyeimbang dalam keberagaman karakter peserta didik dan lebih memahami kebutuhan peserta didik yang relevan dengan pendayagunaan potensi lingkungan di daerahnya dan yang paling utama adalah pemberdayaan ahlak dan moralitas seperti adat budaya timur yang menjunjung aspek morallitas dan tingkat kepeduliannya berdasarkan ahlak yang baik ditambah dengan respon dan kepekaan guru dalam menyikapi keberagaman peserta didiknya dengan metode pembelajaran yang lebih menanamkan nilai-nilai sosial, ahlak dan moral.

Tidak ada komentar: