Selasa, 13 November 2012

Naskah Drama "Pulauku Tenggelamku"



P
U
L
A
U
K
U

T
E
N
G
G
E
L
A
M
K
U
Oleh
IRFAD TAUFIQUROBBI
(Naskah Drama)


PULAUKU TENGGELAMKU

Prolog Tokoh “Aku” :
Aku adalah seorang yang tidak mengerti apa itu hitam?
Bagiku Hitam kelam seakan tanda kehancuran,. Ketika matahari mulai istirahat diperaduanya, disanalah tampak apa itu hitam? gelap? sedikit cahaya yang meneranginya. Tapi itu bukan hitam, bukan hitam kelam itu yang kumaksud.
Setiap kali aku bertanya apa itu hitam, semua menjawab “hitam itu gelap”. Aku sering mendapatkan sesuatu pengalaman buruk dengan kegelapan. Ketika itu aku pernah terjatuh di suatu lubang, lubang  yang dimana terdapat puluhan ular yang sedang mengerami telur-telur lucu yang nantinya akan menjadi bisa pembunuh.
Akan tetapi kenapa seseorang senang akan kegelapan? Kesenangan apakah yang mereka dapatkan dari kegelapan sehingga aku tidak dapat merasakan kesenangan itu?
Hitam kelam? gelap? tak ada satu cahayapun yang dapat melewati benteng baja itu?
Bahkan intensitas kecepatan cahayapun tidak juga mampu mengimbangi semua itu.
Apa itu yang namanya hitam? lagi-lagi bukan hitam itu yang kumaksud.
Hitam kelam? Apakah suatu gambaran? apakah hanya suatu tindakan? atau apakah gambaran dan tindakan dari pola pikir kebiadaban sesorang, lingkungan atau sistem?
Mulutku tidak mampu menjelaskan itu, karena aku tidak tahu apa itu hitam?
Dan Aku akan belajar dari alam tentang apa itu hitam.
Malam itu suasana alam begitu bersahabat sunyi, sepi, gelap namun hanya suara gemuruh ombak yang menerpa karang yang begitu jelas ditelingaku.
Cahaya malam dengan sopannya menyentuh dan melambai pucuk-pucuk nyiur melambai. Kemudian punggung ombak pun dengan genitnya merayu dan bercengkrama di atas berbatuan. Di dalam Kesendirianku, kupaksakan langkah kakiku menyentuh butiran hitam lembut yang berserakan di bawah langit malam, namun tanpa kusadari mata ini terus memandangi di bagian sisi jalan yang membelakangi keberadaanku, Aku melihat tangan-tangan kekar dan sesosok wajah yang kurasa lebih tua dari usianya menuruni anak-anak batu dari atas bukit. Lalu gelak rasa penasaran, Aku menghampirinya.

Dialog Tokoh : (Aku dan Buruh Batu)
Aku                 : Suasana malam ini sungguh bersahabat, indah dan menenangkan namun keindahan, persahabatan dan ketenangan, baru saja aku dapatkan setelah Aku melihat keteladanmu Pak, izinkan Aku belajar dari dirimu tentang makna kehidupan.    
Buruh Batu    : (Buruh Batu menatap tajam mata “Aku” lalu memberikan sebuah senyum ketulusan dan persahabatan ke “Aku”)
“Sebelum matahari di pagi ini dengan bahagianya menyentuh kulit bumi, dan dengan gagahnya para Ayam mengumandangkan suaranya, sedari itu Aku telah berdiri mengukir batu-batu ini menjadi kepingan-kepingan berukuran kecil yang nantinya akan kujual ke para pengepul. Aku ini  lahir dan dibesarkan dari rumput yang biasa tumbuh di sepanjang hutan, karena itulah mental dan semangatku ditempah dan menjadikan aku seperti sekarang ini nak, karena aku belajar dari ganasnya malam dan persahabatan alam, kalau engaku ingin belajar keteladanan dariku, belajarlah juga dari alam, karena alam mempunyai sisi netral dalam kehidupan”
Aku: Tak dapat kusangka, ketika mentari esok tak menyinarkan cahayanya, pasti bumi akan menjadi sesosok bongkahan batu gersang tanpa ada kehidupan, namun kata-kata yang keluar dari buah pikiran bapak, memberikan inspirasi baru dan mencairkan hatiku yang sedari tadi telah beku seperti kerasnya karang.
Pak bisakah Aku membiarkan diriku menerima kegelapan disekitarku dan memberikan cahayaku untuk gelapnya malam? Karena Aku tak ingin di sekitarku menjadi gelap karena tak ada cahaya yang meneranginya walau itu hanya redupnya cahaya lilin.
Buruh batu: Alam mengajarkan sesuatu dari sisi netral, baik dan buruk hal yang biasa dalam kehidupan, begitu juga setiap agama juga mengajarkan suatu hal yang sama akan adanya surga dan neraka, tak ada hal yang baik dan tak ada hal yang buruk jika tidak berada di bumi ini. Sosok kontradiksi awal dari momentum keberhasilan yang hakiki. Ketika kamu mempunyai daya upaya dalam memberikan kebaikan yang terwujud seperti cahaya, kemudian sampaikanlah cahaya tersebut untuk kegelapan, biarkan alam yang menunjukkan kepada semuanya bahwa hitam itu hitam dan putih itu putih, tidak ada gabungan dari keduanya. Kalau engkau mampu pancarkanlah cahayamu untuk gelapnya malam.
Aku     :  Andaikan malam ini ribuan bintang yang menghiasi malam dapat kuambil, akan kuberikan seperangkat bintang untukmu pak. Tapi bukan untuk penghargaan, karena penghargaan adalah awal dari jatuhnya manusia, Aku memberikan bintang hanya untuk meluapkan kegembiraan dari kegundahanku Pak.
Buruh Batu: Memang benar nak, terkadang banyak orang yang jatuh dari pujian dan banyak orang yang bangun dari cambukkan. Tak ada salahnya penghargaan itu dimiliki seseorang, tetapi seseorang yang tidak mengharapkan penghargaan. Karena ketika seseorang itu telah mempunyai keinginan untuk mengharapkan suatu pengharagaan. Ketulusan dan keiklasan yang telah lama dibangun pasti akan terkikis juga seperti hancurnya karang karena ombak.
Kalau ada waktu yang cukup, senang rasanya bisa bertukar pikiran denganmu lagi Nak. Bapak permisi pulang dulu, selamat malam.
Aku     : Iya Pak, Andai segala yang ada di bumi ini bisa dijual, Aku akan membeli waktu agar bisa Aku berikan kepada bapak untuk memberikanku pencerahan lagi Pak, terima kasih Pak atas pencerahannya.
Setiap selang 5 menit, bapak buruh batu itu mulai menjauh dari keberadaanku hingga tak tampak lagi dari pandangan mataku. Kini aku mulai berjalan menyisir sepanjang jalan yang berliku dan bergelombang.
Prolog tokoh  “Aku”:
Tunggu??? hitam??? butiran hitam???
Aku pernah merasakan butiran ini sebelumnya, tapi kenapa aku tidak mengetahui butiran apa ini?
Tidak?
Tidak?
OOOoo,.. ternyata? butiran itu sebenarnya berwarna putih. Apakah karena gelap? membuat butiran itu menjadi hitam? Ataukah karena hausnya orang akan kekayaan yang membuat butiran ini menjadi hitam? Ataukah karena buah dari keserakahan dan ketamakan manusia membuat butiran hitam ini diperebutkan? 
Butiran itu adalah bagian dari pasir pantai yang menjadi satu kesatuan estetika akan indahnya sebuah pantai di daerah tempat tinggalku. Di bagian tepi bahkan di tengah birunya laut tak tampak lagi keindahan karena beberapa monster-monster bertengger angkuh dalam merusak estetika alam.
Di dalam kesendiriannya malam, dari kejauhan, tepatnya di tengah lautan, bagian dari monster-monster tersebut, mulai mendekati tepi pantai, semakin lama, bagian dari monster tersebut semakin mendekati tepi pantai, hingga akhirnya sampailah bagian monster-monster itu, lalu tiba-tiba terdengar suara sapaan dari pemilik monster-monster itu.
 Dialog Tokoh: (Aku dan pemilik Monster)
Pemilik Monster        : Malam yang indah, dimana sunyi, sepi dan tenang membuat sesorang betah berlama-lama berada disini, apa yang kau cari disni Boy?
Aku                             :  Keindahan dan kedamaian dalam suatu masa bisa ku dapati dahulu Pak, kini tak Aku rasakan keindahan dan kedamaian yang dulu menjadi kebanggaan dari tempatku ini. Dulu pantai yang indah, nyman dan tenang bisa Aku dapati dan Aku nikmati, kini semua itu disulap menjadi kehancuran. Kalau semua yang berada di bumi ini dapat berbicara, Aku akan meminta alam bersuara, meminta pantaiku berbicara, meminta pasirku menangis, tapi bukan untuk menandakan bahwa lemah, tapi ingin mencoba mengungkap keadilan dan keseimbangan alam ini Pak. Manusia membutuhkan alam, alam juga membutuhkan manusia, semuanya saling memiliki fungsi yang berbeda untuk tujuan bersama, namun terkadang manusia kuranglah bijaksana dalam bekerjasama dengan alam. Tak bisakah Bapak menyadri hal itu?
Pemilik Monster        : Apa yang kau bicarakan ini Boy? Dan apa yang kau ketahui tentang keseimbangan alam Boy? Keseimbangan alam bisa terbentuk karena manusia, manusia seperti Aku ini Boy? Kalau tidak ada orang-orang seperti Aku ini Boy, banyak pengangguran di daerahmu ini Boy? Semakin banyak pengagguran di tempatmu semakin memperparah keseimbangan alam yang kau dapati di darerahmu ini Boy? Taukah kau tentang keseimbangan alam? Keseimbangan alam, dapat terpenuhi apabila komponen alam yang menjadi penggeraknya bisa tumbuh subur dan maju dalam artian makmur. Komponen alam yang menjadi penggeraknya adalah manusia, semakin makmur dan sejahteranya manusia, semakin terjaga keseimbangan alam tersebut.
Aku     : Makmur? Sejahtera? Subur? Andai saja setiap orang mempunyai batas dasar keinginannya, tentu alam akan menjadi lebih terarah dan seimbang. Namun apakah Bapak tahu? Manusia itu tidak ada batas keinginannya? Saya tidak tahu apakah ada batasan hitam dan putih terhadap suatu objek? Bahkan objek tersebut adalah manusia? Mungkin batasan tersebut berupa gariskah? Atau batas patokan yang biasanya orang menandai tanah-tanah mereka? Tapi Aku yakin kalau manusia adalah mahkluk pintar yang diciptakan oleh Sang Penciptanya untuk menjaga keseimbangan alam dan bisa memberikan kenyamanan dan kelastarian alam sampai generasi-generasi selanjutnya. Bapak bisa bilang kalau keseimbangan alam bisa terwujud apabila ketika manusia tumbuh menjadi makmur dan sejahtera, dimana pengagguran di suatu daerah menjadi berkurang, tapi apakah bapak sadari berapa persen dari apa yang bapak dapati dan berikan kepada para buruh Bapak? Apakah itu yang namanya seimbang? Seimbang untuk bapak? untuk buruh-buruh bapak? atau untuk alam?
Pemilik Monster        : Sudahlah, kau tahu apa mengenai keseimbangan Alam Boy? Aku tidak mau terlalu bersilat lidah dengan dirimu Boy, Kau bisa bilang karena kau tidak tahu, tidak tahu akan indahnya hidup ini boy, indahnya hidup ini dengan uang, dan sengsaranya hidup ini tanpa uang, suatu saat nanti kau pasti akan tahu bahwa jalanku ini adalah petunjuk, jalan yang pasti akan kau cari nantinya, walaupun jalan yang kujalani sekarang adalah jalan yang salah. (memberikan senyum yang tidak bersahabat kepada “Aku”)
Aku     : Manusia adalah mahluk yang sempurna dan pintar dibandingkan mahkluk ciptaan-ciptaan Sang Maha Pencipta lainnya, tapi kepintaran dan kesempurnaan mereka telah diracuni oleh ketamakan dan keserakahan mereka sendiri. Mereka tahu akan kesalahan mereka, tapi mereka membiarkan kesalahan yang mereka miliki dan mengaggap kesalahan-kesalahan mereka adalah seni dan warna dari kehidupan. Andai saja, Aku adalah seorang pesulap, akan kusulap berbatuan yang ada di bukit itu menjadi sebongkah emas untuk kuhadiahkan kepada Bapak, agar bapak tak lagi merusak bagian dari keindahan pantai Kami.  
Pemilik Monster        : Andai masih banyak sisa dari waktu malam ini, Aku akan menjawab pertanyaan-pertanyanmu itu Boy, tapi sudahlah, tak ada gunanya Aku berbicara kepada orang yang tidak tahu akan hidup dunia, sekarang keluargaku menunggu di rumah, silakan kau nikmati kesendirianmu di tengah gelap dan sunyinya malam ini BOY?
Akhirnya pemilik monster itupun melangkahkan kakinya, hingga menjauh dan kini tak lagi tampak dari pandangan ku.
Lalu kubalikkan tubuhku membelakangi jalan yang dilewati pemilik monster tersebut.
Selepas kepergian dari pemilik monster tersebut, suasana angin malam ini, terus memberikanku sebuah inspirasi dan ide-ide mengenai suatu perubahan, perubahan untuk kebaikan dan menanamkan arti kebenaran kepada gelapnya malam dan keseimbangan alam untuk menciptakan tempatku nyamanku.
Aku adalah orang yang tidak suka kegelapan, dan aku selalu terbunuh oleh kegelapan. Kegelapan ini seolah memaksakanku untuk melakukan sesuatu yang tidak kelihatan, hingga menjerumuskanku pada lingkaran orang-orang yang suka akan kegelapan. Sungguh ironis. Ternyata keegoisan pikiranku terinfeksi segalanya oleh keserakahan perasaan dikarenakan kegelapan. Karena itu aku ingin memberikan cahaya dari gelapnya malam dan ingin mencoba seperti karang yang selalu menjaga keseimbangan alam dari pengaruh angin kencang yang dapat merusak kesetabilan ekosistem.
Akhirnya langkahku terhenti di suatu batu kecil yang bentuknya seperti cangkang telur, namun permukaan cangkang tersebut seperti kulit pohon yang mati. Tanpa berfikir akupun mengambil batu kecil itu. Awalnya, batu itu akan ku lemparkan sejauh-jauh mungkin ke tengah laut, karena aku tak sanggup melihat kebohongan yang selalu aku jumpai pada masaku, hingga akhirnya aku melakukan apa yang harus kulakukan dan melarang apa yang seharusnya tidak aku lakukan. Lalu dengan batu itu aku menuliskan sesuatu di atas permukaan butiran putih yang pada saat itu terlihat hitam dari sudut pandangan mataku.
Dengan lancangku, ku menulis:
“Aku akan membebaskan siang di malam hari, dan aku ingin menjumpai kenyataan bukan manipulasi”
Tak lama setelah aku menulis tulisan itu,…
Wwwuuuuuueeeesssss,…. dengan angkuhnya ombak pantai membersihkan tulisan-tulisanku tanpa ada satu hurufpun tersisa.
 Lalu kutuliskan lagi apa yang ingin aku tulis.
“Hitam-putih, gelap-terang, malam-siang, buruk-baik, apakah engaku dapat selalu berdiri dengan sendirinya”
Lagi-lagi tak bosan-bosanya ombak pantai membersihkan tulisanku.
Akupun kembali menulis apa yang ingin kutulis.
“Kenapa hitam selalu jadi pemenang, padahal putih itu adalah sang pemenang ”
Kali ini, bukan ombak yang membawa lari tulisanku, tapi aku yang berlari dengan sekencang-kencangnya, karena langit malam tiba-tiba gelap tanda akan terjadi sebuah badai. Badai besar, tapi bukan tsunami. Ombak pasang seolah tak sabar menampar beberapa berbatuan. Karang terkikis tajam hingga menjadi pecahan kaca yang siap menikam kedua belah kakiku. Betapa sakitnya kedua kaki ini yang biasanya kugunakan untuk melakukan segala sesuatu aktivitasku, bila kaki ini terluka oleh tajamnya batu karang yang terkikis oleh ombak.
Dan beberapa pohon bakau yang mencoba melawan ikut lenyap dihantam badai besar tersebut.
Anehnya suasana malam yang tenang berubah menjadi sesuatu yang kelam, bahkan sangat kelam. 
 “Apakah ini karena tulisanku?” selalu kata itu muncul dibenakku sekarang.
Malam itu, memang malam yang paling menakutkan, dari ganasnya fenomena alam itu, akupun bersembunyi berlindung di dalam sebuah gubuk kecil, dengan sejuta rasa takut dan cemas yang belum pernah aku rasakan. Fenomena alam yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, dengan kejamnya mereka menghajar batinku hingga aku tidak dapat membuka mataku. Mula-mula aku meyakinkan dan menyadari bahwa aku dapat membuka mataku dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Lima menit telah berlalu satu persatu ruhku mulai terisi kembali ke tubuhku. Dan aku mulai sedikit memberanikan pikiranku untuk berbicara.  Aku tidak tahu, apa yang menyebabkan aku sangat takut. 
Takut sekali,…
Tapi aku tetap tidak mengerti? Kenapa itu terjadi pada diriku.
Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan aku takut dengan semua ini. Mungkin karena aku tidak dapat merubah semua itu. Putih dan hitam suatu yang berlawanan. Tapi kenapa putih selalu menjadi keganasan hitam? apakah semua orang menginginkan indahnya kegelapan walaupun sebenarnya di balik hitam adalah hitam?
Ternyata walau ruhku telah terisi, namun tubuh ini tak dapat kugerakkan, hingga akhirnya dalam keragu-raguan imjinasiku, Aku bermimpi semua yang berada di sekitarku bisa berbicara, pohon, karang, pasir bahkan ikan-ikan yang berada di dasar laut bergerak, bericara dan bernafas seperti layaknya  manusia.
Dan kemudian mereka menyapaku,
Dialog Tokoh: (Aku, Pohon, Karang, Pasir, dan Ikan)
Pohon             : Manusia jahat,…..
Karang           : Manusia jahat,…..
Pasir               : Manusia jahat,…..
Ikan                : Manusia jahat,…..
Aku                 : (sesaat tergelak heran melihat dan mendengar benda yang mati, layaknya seperti manusia)
“Dimana Aku? Dimana Aku? Apa salahku? Kenapa kalian bilang Aku jahat? Apa yang aku perbuat sehingga kalian menuduhku seperti itu? Dan siapa kalian? Ini pasti mimpi? pasti mimpi? Cepat sadarkan Aku dari ketidakberdayanku ini? Jangan jadikan Aku terlena dan menderita karena tuntutan kalian?”
Pasir               : Wahai manusia? Bersyukurlah Kamu menajdi manusia, bukan seperti kami, kami hanya bisa membalas perbuatan atas tindakan kalian, tapi kami tidak bisa berteriak, menangis dan berbicara seperti kalian? Kami ingin seperti kalian? Ketika ada sesuatu yang menggangu kami, Kami akan berbicara, berteriak dan menangis? Kami tidak ingin kalau membalas apa yang kalian lakukan secara langsung, karena itu akan memberikan sakit yang sangat luar biasa, karena kami ingin segala sesuatu sebelum terjadi kami ingin berbicara dengan kalian. Apa kalian tidak mengerti? Berapa ruginya kami? Berapa tidak berdayanya kami ketika para manusia memisahkan keluarga kami, memisahkan dan menjual anak-anak kami, hingga  melobang-lobangi bagian dari kami hingga yang tersisa adalah bagian-bagian yag tak dapat kami banggakan lagi.
Kalian tahu? Berapa bangganya dan indahnya kami dibandingkan para pasir di sejumlah daerah? Pasir kamilah yang paling indah, banyak mengandung material timah yang menjadi primadona dan kebanggaan lokal kami?
Namun sekarang? Apa yang terjadi? Kalian tega membuat kami seperti harimau yang kehilangan taring, seperti ular cobra yang kehilangan bisanya, dan seperti burung yang kehilangan kedua sayapnya?
Kini apa yang bisa kami banggakan dengan keunggulan lokal kami? Kami indah, bersih, dan putih, tetapi kami tidak lagi mempunyai kebanggaan yang dahulu dibanggakan oleh kakek dan nenek buyut kami, semua itu hanya menjadi legenda semata, apakah kalian menyadarinya?
Pohon             : Belum lagi kami? Berapa banyak keluargaku? Teman-temanku? Mati digusur beberapa monster-monster jahat? Iya, yang salah bukan pada monsternya, tapi pada manusianya, manusia yang serakah dan tamak terhadap apa yang belum ia dapatkan. Lagi-lagi kami yang tidak dapat berbicara yang menjadi korban dari keserakahan manusia? Adilkah itu? Apa yang menajdi keinginan manusia sehingga mereka terlalu dibutakan oleh kegelapan? Kegelapan yang tak dapat diukur, walau diukur dengan alat pengukur. Kami tidak ingin membalas sakit hati kami kepada manusia dengan membiarkan bencana menimpa kalian, karena kami ingin lebih dihargai dan mencoba menghargai kalian sebagai partner kami dalam menjaga keseimbangan alam ini, kenyamanan, keindahan dan kemakmurankan yang kita cari bersama?  
Ikan                : Apakah salah, kalau kami lari dari perairan kami? Sehingga para nelayan sangat kecewa dan sedih bila tidak mendapatkan kami? Sewaktu itu, aku pernah mendengar nelayan kecil sedang menangis, dan berkeluh kesah pada sepinya malam, nelayan itu berdoa kepada Sang Pencipta, “Andai saja, Aku ini adalah raja, Aku akan menyuruh pengawalku untuk menabur bibit ikan seperti menabur pasir di pantai, sungguh pasti tak akan habis-habisnya ikan yang akan kudapat hari ini, namun apa boleh di kata, ketika karang-karang untuk tempat tinggal ikan-ikan di laut ini, telah dirusak oleh monster-monter yang digerak oleh manusia-manusia yang serakah dan tamak”
Karang           : Mana kerja sama manusia selaku orang yang pintar dan paling memberikan peranan penting bagi keseimbangan alam? Aku rasa, manusia bukanlah orang yang pintar, tapi orang yang lemah, lemah karena diri, silau karena cahaya, sehingga mereka senang akan kegelapan. Wajarlah kegelapan itulah yang mereka cari, kegelapan yang dapat memberikan kekayaan pribadi mereka, kekayaan yang dapat membuat mereka sendiri nantinya akan jatuh karena ulah mereka sendiri.
Aku                 : Aku adalah anak kecil yang ingin mencoba membuat gunung, gunung es seperti di kutub utara, dingin, bahkan sangat dingin. Namun apalah dayaku, bukan gunung es yang dapat kubuat, malahan Aku terkena lahar panas dari gunung itu. Terkadang Aku malu dengan apa yang terjadi sekarang, kondisi yang tak terlalu indah malah sekarang menjadi suram, tak ada lagi yang kubanggakan dari daerahku. Awalnya aku bingung dengan daerahku, Aku tinggal di daerah pesisir yang kaya akan hasil laut, tapi kenapa? hasil kekayaan laut tersebut sangatlah sulit didapat. Bahkan seperti mencari air di musim kemarau, mahal, dan jarang ditemui. Dan mendengar ceritamu wahai ikan, aku baru tahu ternyata, itu semua adalah ulah tangan dan pikiran orang-orang yang mengatasnamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.
Aku sangat malu dengan para kaum kami, karena kami terlalu banyak membuat ulah dan masalah di sekitar alam ini, andai saja Aku adalah dokter alam, izinkan Aku memeriksa dan mengobati kalian, karena Aku cinta kalian, dan Kami manusia, tidak dapat hidup tanpa adanya kalian.
Pasir                           : Cukup!!!!!
Terlambat sudah Kalian para manusia meminta maaf kepada Kami.
 Karang                       :  Kami sudah memberikan banyak toleransi kepada manusia.
Pohon                         : Tapi mereka tetap juga tak mau mengerti!!
Ikan                            : Maaf sahabat, Kami memang marah, tetapi kami harus bijaksana mengambil sikap.
Karang                       : Kami telah memutuskan langkah apa yang akan kami ambil.
Pasir                           : Kami sepakat kalau kami ingin menenggelamkan pulau ini.
Karang                       : Karena apabila terus dibiarkan, akan menyiksa alam ini, bahkan bukan saja alam, tapi juga kalian, para manusia.
Aku                             : Ternyata sungguh telah kami melakukan kesalahan terhadap alam kami sendiri, sehingga kalian begitu memberikan hukuman kepada Kami. Sungguh besar apa yang kami lakukan, sehingga kami tak menyadari akan terjadi hal yang seperti ini. Kalau kalian tidak mau memafkaan kami para manusia, mungkin itu adalah hak dari kalian, dan mungkin ada beberapa pertimbangan kalian untuk menghukum Kami, kalaupun begitu adanya, apa yang pantas kami dapatkan dari perbuatan Kami selain menenggelamkan pulau ini?
Pohon, Karang, Pasir, dan Ikan      : Kami teteap akan meneggelamkan pulau ini !!!!!!!!!!!
Sepontan Akupun terbangun, betapa takut dan khawatirnya Aku mengingat mimpi-mimpiku, tak selang beberapa lama, anging dari arah laut kemudian bertambah kencang, hujan yang sedari tadi tidak menampakkan jati dirinya, kemudian satu persatu membasahi bumi dengan sangat kencangnya, kini ombak-ombak pun lagi-lagi ikut menambahkan aksinya yang tadi sedikit mereda. Kemudian semakin lama, angin yang berada ditepi kemudian semakin liar menampakan keganasanya, dan menyapu beberapa pasir menuju ke arah bahu jalan, dan tak lama kemudian seluruh pulau terisi oleh air laut hingga tak lagi dapat dilihat keindahannya, bahkan keberadaannya. Dan Aku pun ikut terbawa dan tenggelam bersama Pulauku.
Kini pulauku adalah kenanganku, yang terus terbayang dalam memoriku walau tak dapat Aku lihat baik itu wujudku sendiri dan wujudnya yaitu “Pulauku”
-Selesai-