P
U
L
A
U
K
U
T
E
N
G
G
E
L
A
M
K
U
Oleh
IRFAD TAUFIQUROBBI
(Naskah Drama)
PULAUKU TENGGELAMKU
Prolog Tokoh “Aku” :
Aku
adalah seorang yang tidak mengerti apa itu hitam?
Bagiku
Hitam kelam seakan tanda kehancuran,. Ketika matahari mulai istirahat
diperaduanya, disanalah tampak apa itu hitam? gelap? sedikit cahaya yang
meneranginya. Tapi itu bukan hitam, bukan hitam kelam itu yang kumaksud.
Setiap
kali aku bertanya apa itu hitam, semua menjawab “hitam itu gelap”. Aku sering
mendapatkan sesuatu pengalaman buruk dengan kegelapan. Ketika itu aku pernah
terjatuh di suatu lubang, lubang yang
dimana terdapat puluhan ular yang sedang mengerami telur-telur lucu yang
nantinya akan menjadi bisa pembunuh.
Akan
tetapi kenapa seseorang senang akan kegelapan? Kesenangan apakah yang mereka
dapatkan dari kegelapan sehingga aku tidak dapat merasakan kesenangan itu?
Hitam
kelam? gelap? tak ada satu cahayapun yang dapat melewati benteng baja itu?
Bahkan
intensitas kecepatan cahayapun tidak juga mampu mengimbangi semua itu.
Apa
itu yang namanya hitam? lagi-lagi bukan hitam itu yang kumaksud.
Hitam
kelam? Apakah suatu gambaran? apakah hanya suatu tindakan? atau apakah gambaran
dan tindakan dari pola pikir kebiadaban sesorang, lingkungan atau sistem?
Mulutku
tidak mampu menjelaskan itu, karena aku tidak tahu apa itu hitam?
Dan
Aku akan belajar dari alam tentang apa itu hitam.
Malam
itu suasana alam begitu bersahabat sunyi, sepi, gelap namun hanya suara gemuruh
ombak yang menerpa karang yang begitu jelas ditelingaku.
Cahaya
malam dengan sopannya menyentuh dan melambai pucuk-pucuk nyiur melambai.
Kemudian punggung ombak pun dengan genitnya merayu dan bercengkrama di atas
berbatuan. Di dalam Kesendirianku, kupaksakan langkah kakiku menyentuh butiran
hitam lembut yang berserakan di bawah langit malam, namun tanpa kusadari mata
ini terus memandangi di bagian sisi jalan yang membelakangi keberadaanku, Aku
melihat tangan-tangan kekar dan sesosok wajah yang kurasa lebih tua dari
usianya menuruni anak-anak batu dari atas bukit. Lalu gelak rasa penasaran, Aku
menghampirinya.
Dialog Tokoh : (Aku dan
Buruh Batu)
Aku : Suasana malam ini sungguh
bersahabat, indah dan menenangkan namun keindahan, persahabatan dan ketenangan,
baru saja aku dapatkan setelah Aku melihat keteladanmu Pak, izinkan Aku belajar
dari dirimu tentang makna kehidupan.
Buruh Batu : (Buruh Batu menatap tajam mata “Aku” lalu memberikan sebuah senyum
ketulusan dan persahabatan ke “Aku”)
“Sebelum
matahari di pagi ini dengan bahagianya menyentuh kulit bumi, dan dengan
gagahnya para Ayam mengumandangkan suaranya, sedari itu Aku telah berdiri mengukir
batu-batu ini menjadi kepingan-kepingan berukuran kecil yang nantinya akan
kujual ke para pengepul. Aku ini lahir
dan dibesarkan dari rumput yang biasa tumbuh di sepanjang hutan, karena itulah
mental dan semangatku ditempah dan menjadikan aku seperti sekarang ini nak,
karena aku belajar dari ganasnya malam dan persahabatan alam, kalau engaku
ingin belajar keteladanan dariku, belajarlah juga dari alam, karena alam
mempunyai sisi netral dalam kehidupan”
Aku: Tak
dapat kusangka, ketika mentari esok tak menyinarkan cahayanya, pasti bumi akan
menjadi sesosok bongkahan batu gersang tanpa ada kehidupan, namun kata-kata
yang keluar dari buah pikiran bapak, memberikan inspirasi baru dan mencairkan
hatiku yang sedari tadi telah beku seperti kerasnya karang.
Pak
bisakah Aku membiarkan diriku menerima kegelapan disekitarku dan memberikan
cahayaku untuk gelapnya malam? Karena Aku tak ingin di sekitarku menjadi gelap
karena tak ada cahaya yang meneranginya walau itu hanya redupnya cahaya lilin.
Buruh batu: Alam
mengajarkan sesuatu dari sisi netral, baik dan buruk hal yang biasa dalam
kehidupan, begitu juga setiap agama juga mengajarkan suatu hal yang sama akan
adanya surga dan neraka, tak ada hal yang baik dan tak ada hal yang buruk jika
tidak berada di bumi ini. Sosok kontradiksi awal dari momentum keberhasilan
yang hakiki. Ketika kamu mempunyai daya upaya dalam memberikan kebaikan yang
terwujud seperti cahaya, kemudian sampaikanlah cahaya tersebut untuk kegelapan,
biarkan alam yang menunjukkan kepada semuanya bahwa hitam itu hitam dan putih
itu putih, tidak ada gabungan dari keduanya. Kalau engkau mampu pancarkanlah
cahayamu untuk gelapnya malam.
Aku : Andaikan malam ini ribuan bintang yang
menghiasi malam dapat kuambil, akan kuberikan seperangkat bintang untukmu pak.
Tapi bukan untuk penghargaan, karena penghargaan adalah awal dari jatuhnya
manusia, Aku memberikan bintang hanya untuk meluapkan kegembiraan dari
kegundahanku Pak.
Buruh Batu: Memang
benar nak, terkadang banyak orang yang jatuh dari pujian dan banyak orang yang
bangun dari cambukkan. Tak ada salahnya penghargaan itu dimiliki seseorang,
tetapi seseorang yang tidak mengharapkan penghargaan. Karena ketika seseorang
itu telah mempunyai keinginan untuk mengharapkan suatu pengharagaan. Ketulusan
dan keiklasan yang telah lama dibangun pasti akan terkikis juga seperti
hancurnya karang karena ombak.
Kalau
ada waktu yang cukup, senang rasanya bisa bertukar pikiran denganmu lagi Nak.
Bapak permisi pulang dulu, selamat malam.
Aku : Iya
Pak, Andai segala yang ada di bumi ini bisa dijual, Aku akan membeli waktu agar
bisa Aku berikan kepada bapak untuk memberikanku pencerahan lagi Pak, terima
kasih Pak atas pencerahannya.
Setiap selang 5
menit, bapak buruh batu itu mulai menjauh dari keberadaanku hingga tak tampak
lagi dari pandangan mataku. Kini aku mulai berjalan menyisir sepanjang jalan
yang berliku dan bergelombang.
Prolog tokoh “Aku”:
Tunggu???
hitam??? butiran hitam???
Aku
pernah merasakan butiran ini sebelumnya, tapi kenapa aku tidak mengetahui
butiran apa ini?
Tidak?
Tidak?
OOOoo,..
ternyata? butiran itu sebenarnya berwarna putih. Apakah karena gelap? membuat
butiran itu menjadi hitam? Ataukah karena hausnya orang akan kekayaan yang membuat
butiran ini menjadi hitam? Ataukah karena buah dari keserakahan dan ketamakan manusia
membuat butiran hitam ini diperebutkan?
Butiran
itu adalah bagian dari pasir pantai yang menjadi satu kesatuan estetika akan
indahnya sebuah pantai di daerah tempat tinggalku. Di bagian tepi bahkan di
tengah birunya laut tak tampak lagi keindahan karena beberapa monster-monster
bertengger angkuh dalam merusak estetika alam.
Di
dalam kesendiriannya malam, dari kejauhan, tepatnya di tengah lautan, bagian
dari monster-monster tersebut, mulai mendekati tepi pantai, semakin lama,
bagian dari monster tersebut semakin mendekati tepi pantai, hingga akhirnya
sampailah bagian monster-monster itu, lalu tiba-tiba terdengar suara sapaan
dari pemilik monster-monster itu.
Pemilik Monster : Malam
yang indah, dimana sunyi, sepi dan tenang membuat sesorang betah berlama-lama
berada disini, apa yang kau cari disni Boy?
Aku : Keindahan dan kedamaian
dalam suatu masa bisa ku dapati dahulu Pak, kini tak Aku rasakan keindahan dan
kedamaian yang dulu menjadi kebanggaan dari tempatku ini. Dulu pantai yang
indah, nyman dan tenang bisa Aku dapati dan Aku nikmati, kini semua itu disulap
menjadi kehancuran. Kalau semua yang berada di bumi ini dapat berbicara, Aku
akan meminta alam bersuara, meminta pantaiku berbicara, meminta pasirku
menangis, tapi bukan untuk menandakan bahwa lemah, tapi ingin mencoba
mengungkap keadilan dan keseimbangan alam ini Pak. Manusia membutuhkan alam,
alam juga membutuhkan manusia, semuanya saling memiliki fungsi yang berbeda
untuk tujuan bersama, namun terkadang manusia kuranglah bijaksana dalam
bekerjasama dengan alam. Tak bisakah Bapak menyadri hal itu?
Pemilik Monster : Apa
yang kau bicarakan ini Boy? Dan apa yang kau ketahui tentang keseimbangan alam
Boy? Keseimbangan alam bisa terbentuk karena manusia, manusia seperti Aku ini
Boy? Kalau tidak ada orang-orang seperti Aku ini Boy, banyak pengangguran di
daerahmu ini Boy? Semakin banyak pengagguran di tempatmu semakin memperparah
keseimbangan alam yang kau dapati di darerahmu ini Boy? Taukah kau tentang
keseimbangan alam? Keseimbangan alam, dapat terpenuhi apabila komponen alam
yang menjadi penggeraknya bisa tumbuh subur dan maju dalam artian makmur. Komponen
alam yang menjadi penggeraknya adalah manusia, semakin makmur dan sejahteranya
manusia, semakin terjaga keseimbangan alam tersebut.
Aku : Makmur?
Sejahtera? Subur? Andai saja setiap orang mempunyai batas dasar keinginannya,
tentu alam akan menjadi lebih terarah dan seimbang. Namun apakah Bapak tahu?
Manusia itu tidak ada batas keinginannya? Saya tidak tahu apakah ada batasan
hitam dan putih terhadap suatu objek? Bahkan objek tersebut adalah manusia?
Mungkin batasan tersebut berupa gariskah? Atau batas patokan yang biasanya
orang menandai tanah-tanah mereka? Tapi Aku yakin kalau manusia adalah mahkluk
pintar yang diciptakan oleh Sang Penciptanya untuk menjaga keseimbangan alam
dan bisa memberikan kenyamanan dan kelastarian alam sampai generasi-generasi
selanjutnya. Bapak bisa bilang kalau keseimbangan alam bisa terwujud apabila
ketika manusia tumbuh menjadi makmur dan sejahtera, dimana pengagguran di suatu
daerah menjadi berkurang, tapi apakah bapak sadari berapa persen dari apa yang
bapak dapati dan berikan kepada para buruh Bapak? Apakah itu yang namanya
seimbang? Seimbang untuk bapak? untuk buruh-buruh bapak? atau untuk alam?
Pemilik Monster : Sudahlah,
kau tahu apa mengenai keseimbangan Alam Boy? Aku tidak mau terlalu bersilat
lidah dengan dirimu Boy, Kau bisa bilang karena kau tidak tahu, tidak tahu akan
indahnya hidup ini boy, indahnya hidup ini dengan uang, dan sengsaranya hidup
ini tanpa uang, suatu saat nanti kau pasti akan tahu bahwa jalanku ini adalah
petunjuk, jalan yang pasti akan kau cari nantinya, walaupun jalan yang kujalani
sekarang adalah jalan yang salah. (memberikan senyum yang tidak bersahabat
kepada “Aku”)
Aku : Manusia
adalah mahluk yang sempurna dan pintar dibandingkan mahkluk ciptaan-ciptaan
Sang Maha Pencipta lainnya, tapi kepintaran dan kesempurnaan mereka telah
diracuni oleh ketamakan dan keserakahan mereka sendiri. Mereka tahu akan
kesalahan mereka, tapi mereka membiarkan kesalahan yang mereka miliki dan
mengaggap kesalahan-kesalahan mereka adalah seni dan warna dari kehidupan.
Andai saja, Aku adalah seorang pesulap, akan kusulap berbatuan yang ada di
bukit itu menjadi sebongkah emas untuk kuhadiahkan kepada Bapak, agar bapak tak
lagi merusak bagian dari keindahan pantai Kami.
Pemilik Monster :
Andai masih banyak sisa dari waktu malam ini, Aku akan menjawab
pertanyaan-pertanyanmu itu Boy, tapi sudahlah, tak ada gunanya Aku berbicara
kepada orang yang tidak tahu akan hidup dunia, sekarang keluargaku menunggu di
rumah, silakan kau nikmati kesendirianmu di tengah gelap dan sunyinya malam ini
BOY?
Akhirnya
pemilik monster itupun melangkahkan kakinya, hingga menjauh dan kini tak lagi
tampak dari pandangan ku.
Lalu
kubalikkan tubuhku membelakangi jalan yang dilewati pemilik monster tersebut.
Selepas
kepergian dari pemilik monster tersebut, suasana angin malam ini, terus
memberikanku sebuah inspirasi dan ide-ide mengenai suatu perubahan, perubahan
untuk kebaikan dan menanamkan arti kebenaran kepada gelapnya malam dan
keseimbangan alam untuk menciptakan tempatku nyamanku.
Aku
adalah orang yang tidak suka kegelapan, dan aku selalu terbunuh oleh kegelapan.
Kegelapan ini seolah memaksakanku untuk melakukan sesuatu yang tidak kelihatan,
hingga menjerumuskanku pada lingkaran orang-orang yang suka akan kegelapan.
Sungguh ironis. Ternyata keegoisan pikiranku terinfeksi segalanya oleh
keserakahan perasaan dikarenakan kegelapan. Karena itu aku ingin memberikan
cahaya dari gelapnya malam dan ingin mencoba seperti karang yang selalu menjaga
keseimbangan alam dari pengaruh angin kencang yang dapat merusak kesetabilan
ekosistem.
Akhirnya
langkahku terhenti di suatu batu kecil yang bentuknya seperti cangkang telur,
namun permukaan cangkang tersebut seperti kulit pohon yang mati. Tanpa berfikir
akupun mengambil batu kecil itu. Awalnya, batu itu akan ku lemparkan
sejauh-jauh mungkin ke tengah laut, karena aku tak sanggup melihat kebohongan
yang selalu aku jumpai pada masaku, hingga akhirnya aku melakukan apa yang harus
kulakukan dan melarang apa yang seharusnya tidak aku lakukan. Lalu dengan batu
itu aku menuliskan sesuatu di atas permukaan butiran putih yang pada saat itu
terlihat hitam dari sudut pandangan mataku.
Dengan
lancangku, ku menulis:
“Aku
akan membebaskan siang di malam hari, dan aku ingin menjumpai kenyataan bukan
manipulasi”
Tak
lama setelah aku menulis tulisan itu,…
Wwwuuuuuueeeesssss,….
dengan angkuhnya ombak pantai membersihkan tulisan-tulisanku tanpa ada satu
hurufpun tersisa.
“Hitam-putih,
gelap-terang, malam-siang, buruk-baik, apakah engaku dapat selalu berdiri
dengan sendirinya”
Lagi-lagi
tak bosan-bosanya ombak pantai membersihkan tulisanku.
Akupun
kembali menulis apa yang ingin kutulis.
“Kenapa
hitam selalu jadi pemenang, padahal putih itu adalah sang pemenang ”
Kali
ini, bukan ombak yang membawa lari tulisanku, tapi aku yang berlari dengan
sekencang-kencangnya, karena langit malam tiba-tiba gelap tanda akan terjadi
sebuah badai. Badai besar, tapi bukan tsunami. Ombak pasang seolah tak sabar
menampar beberapa berbatuan. Karang terkikis tajam hingga menjadi pecahan kaca
yang siap menikam kedua belah kakiku. Betapa sakitnya kedua kaki ini yang
biasanya kugunakan untuk melakukan segala sesuatu aktivitasku, bila kaki ini terluka
oleh tajamnya batu karang yang terkikis oleh ombak.
Dan
beberapa pohon bakau yang mencoba melawan ikut lenyap dihantam badai besar
tersebut.
Anehnya
suasana malam yang tenang berubah menjadi sesuatu yang kelam, bahkan sangat
kelam.
“Apakah ini karena tulisanku?” selalu kata itu
muncul dibenakku sekarang.
Malam
itu, memang malam yang paling menakutkan, dari ganasnya fenomena alam itu, akupun
bersembunyi berlindung di dalam sebuah gubuk kecil, dengan sejuta rasa takut
dan cemas yang belum pernah aku rasakan. Fenomena alam yang tak pernah aku
rasakan sebelumnya, dengan kejamnya mereka menghajar batinku hingga aku tidak
dapat membuka mataku. Mula-mula aku meyakinkan dan menyadari bahwa aku dapat
membuka mataku dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Lima menit telah berlalu satu persatu ruhku mulai
terisi kembali ke tubuhku. Dan aku mulai sedikit memberanikan pikiranku untuk
berbicara. Aku tidak tahu, apa yang
menyebabkan aku sangat takut.
Takut
sekali,…
Tapi
aku tetap tidak mengerti? Kenapa itu terjadi pada diriku.
Aku
tidak mengerti apa yang menyebabkan aku takut dengan semua ini. Mungkin karena
aku tidak dapat merubah semua itu. Putih dan hitam suatu yang berlawanan. Tapi
kenapa putih selalu menjadi keganasan hitam? apakah semua orang menginginkan indahnya
kegelapan walaupun sebenarnya di balik hitam adalah hitam?
Ternyata
walau ruhku telah terisi, namun tubuh ini tak dapat kugerakkan, hingga akhirnya
dalam keragu-raguan imjinasiku, Aku bermimpi semua yang berada di sekitarku
bisa berbicara, pohon, karang, pasir bahkan ikan-ikan yang berada di dasar laut
bergerak, bericara dan bernafas seperti layaknya manusia.
Dan
kemudian mereka menyapaku,
Dialog Tokoh: (Aku, Pohon, Karang, Pasir, dan Ikan)
Pohon :
Manusia jahat,…..
Karang :
Manusia jahat,…..
Pasir :
Manusia jahat,…..
Ikan :
Manusia jahat,…..
Aku : (sesaat
tergelak heran melihat dan mendengar benda yang mati, layaknya seperti manusia)
“Dimana
Aku? Dimana Aku? Apa salahku? Kenapa kalian bilang Aku jahat? Apa yang aku
perbuat sehingga kalian menuduhku seperti itu? Dan siapa kalian? Ini pasti
mimpi? pasti mimpi? Cepat sadarkan Aku dari ketidakberdayanku ini? Jangan
jadikan Aku terlena dan menderita karena tuntutan kalian?”
Pasir : Wahai
manusia? Bersyukurlah Kamu menajdi manusia, bukan seperti kami, kami hanya bisa
membalas perbuatan atas tindakan kalian, tapi kami tidak bisa berteriak,
menangis dan berbicara seperti kalian? Kami ingin seperti kalian? Ketika ada
sesuatu yang menggangu kami, Kami akan berbicara, berteriak dan menangis? Kami
tidak ingin kalau membalas apa yang kalian lakukan secara langsung, karena itu
akan memberikan sakit yang sangat luar biasa, karena kami ingin segala sesuatu
sebelum terjadi kami ingin berbicara dengan kalian. Apa kalian tidak mengerti?
Berapa ruginya kami? Berapa tidak berdayanya kami ketika para manusia
memisahkan keluarga kami, memisahkan dan menjual anak-anak kami, hingga melobang-lobangi bagian dari kami hingga yang
tersisa adalah bagian-bagian yag tak dapat kami banggakan lagi.
Kalian
tahu? Berapa bangganya dan indahnya kami dibandingkan para pasir di sejumlah
daerah? Pasir kamilah yang paling indah, banyak mengandung material timah yang
menjadi primadona dan kebanggaan lokal kami?
Namun
sekarang? Apa yang terjadi? Kalian tega membuat kami seperti harimau yang
kehilangan taring, seperti ular cobra yang kehilangan bisanya, dan seperti
burung yang kehilangan kedua sayapnya?
Kini
apa yang bisa kami banggakan dengan keunggulan lokal kami? Kami indah, bersih,
dan putih, tetapi kami tidak lagi mempunyai kebanggaan yang dahulu dibanggakan
oleh kakek dan nenek buyut kami, semua itu hanya menjadi legenda semata, apakah
kalian menyadarinya?
Pohon : Belum
lagi kami? Berapa banyak keluargaku? Teman-temanku? Mati digusur beberapa
monster-monster jahat? Iya, yang salah bukan pada monsternya, tapi pada
manusianya, manusia yang serakah dan tamak terhadap apa yang belum ia dapatkan.
Lagi-lagi kami yang tidak dapat berbicara yang menjadi korban dari keserakahan
manusia? Adilkah itu? Apa yang menajdi keinginan manusia sehingga mereka
terlalu dibutakan oleh kegelapan? Kegelapan yang tak dapat diukur, walau diukur
dengan alat pengukur. Kami tidak ingin membalas sakit hati kami kepada manusia
dengan membiarkan bencana menimpa kalian, karena kami ingin lebih dihargai dan
mencoba menghargai kalian sebagai partner kami dalam menjaga keseimbangan alam ini,
kenyamanan, keindahan dan kemakmurankan yang kita cari bersama?
Ikan : Apakah
salah, kalau kami lari dari perairan kami? Sehingga para nelayan sangat kecewa
dan sedih bila tidak mendapatkan kami? Sewaktu itu, aku pernah mendengar
nelayan kecil sedang menangis, dan berkeluh kesah pada sepinya malam, nelayan
itu berdoa kepada Sang Pencipta, “Andai saja, Aku ini adalah raja, Aku akan
menyuruh pengawalku untuk menabur bibit ikan seperti menabur pasir di pantai,
sungguh pasti tak akan habis-habisnya ikan yang akan kudapat hari ini, namun
apa boleh di kata, ketika karang-karang untuk tempat tinggal ikan-ikan di laut
ini, telah dirusak oleh monster-monter yang digerak oleh manusia-manusia yang
serakah dan tamak”
Karang : Mana
kerja sama manusia selaku orang yang pintar dan paling memberikan peranan
penting bagi keseimbangan alam? Aku
rasa, manusia bukanlah orang yang pintar, tapi orang yang lemah, lemah karena
diri, silau karena cahaya, sehingga mereka senang akan kegelapan. Wajarlah
kegelapan itulah yang mereka cari, kegelapan yang dapat memberikan kekayaan
pribadi mereka, kekayaan yang dapat membuat mereka sendiri nantinya akan jatuh
karena ulah mereka sendiri.
Aku :
Aku adalah anak kecil yang ingin mencoba
membuat gunung, gunung es seperti di kutub utara, dingin, bahkan sangat dingin.
Namun apalah dayaku, bukan gunung es yang dapat kubuat, malahan Aku terkena
lahar panas dari gunung itu. Terkadang Aku malu dengan apa yang terjadi sekarang,
kondisi yang tak terlalu indah malah sekarang menjadi suram, tak ada lagi yang
kubanggakan dari daerahku. Awalnya aku bingung dengan daerahku, Aku tinggal di
daerah pesisir yang kaya akan hasil laut, tapi kenapa? hasil kekayaan laut
tersebut sangatlah sulit didapat. Bahkan seperti mencari air di musim kemarau,
mahal, dan jarang ditemui. Dan mendengar ceritamu wahai ikan, aku baru tahu
ternyata, itu semua adalah ulah tangan dan pikiran orang-orang yang
mengatasnamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.
Aku
sangat malu dengan para kaum kami, karena kami terlalu banyak membuat ulah dan
masalah di sekitar alam ini, andai saja Aku adalah dokter alam, izinkan Aku
memeriksa dan mengobati kalian, karena Aku cinta kalian, dan Kami manusia,
tidak dapat hidup tanpa adanya kalian.
Pasir :
Cukup!!!!!
Terlambat
sudah Kalian para manusia meminta maaf kepada Kami.
Pohon : Tapi
mereka tetap juga tak mau mengerti!!
Ikan : Maaf
sahabat, Kami memang marah, tetapi kami harus bijaksana mengambil sikap.
Karang : Kami
telah memutuskan langkah apa yang akan kami ambil.
Pasir : Kami
sepakat kalau kami ingin menenggelamkan pulau ini.
Karang : Karena
apabila terus dibiarkan, akan menyiksa alam ini, bahkan bukan saja alam, tapi
juga kalian, para manusia.
Aku : Ternyata
sungguh telah kami melakukan kesalahan terhadap alam kami sendiri, sehingga
kalian begitu memberikan hukuman kepada Kami. Sungguh besar apa yang kami
lakukan, sehingga kami tak menyadari akan terjadi hal yang seperti ini. Kalau
kalian tidak mau memafkaan kami para manusia, mungkin itu adalah hak dari
kalian, dan mungkin ada beberapa pertimbangan kalian untuk menghukum Kami,
kalaupun begitu adanya, apa yang pantas kami dapatkan dari perbuatan Kami
selain menenggelamkan pulau ini?
Pohon, Karang, Pasir,
dan Ikan : Kami
teteap akan meneggelamkan pulau ini !!!!!!!!!!!
Sepontan
Akupun terbangun, betapa takut dan khawatirnya Aku mengingat mimpi-mimpiku, tak
selang beberapa lama, anging dari arah laut kemudian bertambah kencang, hujan
yang sedari tadi tidak menampakkan jati dirinya, kemudian satu persatu
membasahi bumi dengan sangat kencangnya, kini ombak-ombak pun lagi-lagi ikut
menambahkan aksinya yang tadi sedikit mereda. Kemudian semakin lama, angin yang
berada ditepi kemudian semakin liar menampakan keganasanya, dan menyapu
beberapa pasir menuju ke arah bahu jalan, dan tak lama kemudian seluruh pulau
terisi oleh air laut hingga tak lagi dapat dilihat keindahannya, bahkan
keberadaannya. Dan Aku pun ikut terbawa dan tenggelam bersama Pulauku.
Kini
pulauku adalah kenanganku, yang terus terbayang dalam memoriku walau tak dapat
Aku lihat baik itu wujudku sendiri dan wujudnya yaitu “Pulauku”
-Selesai-