Kamis, 30 April 2009

Analisis Sosiolinguistik

ANALISIS PERCAKAPAN TRANSAKSI JUAL BELI YANG MENIMBULKAN EFEK DESKRIMINASI TERHADAP PEMBELI YANG BERBAHASA INDONESIA DI PASAR KELEWER SURAKARTA: ANALISIS SOSIOLINGISTIK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita mengenal bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang dinyatakan pada Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV pasal 36 yang mempunyai fungsi sebagai Bahasa Persatuan dan Kesatuan, sebagai Identitas bangsa, sebagai alat komunikasi penghubung antara kebudayan, sebagai lambang kebanggan Bangsa (Arifin, Amran: 2000).
Namun ironisnya kesempatan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat sungguh sangat memprihatinkan. Dari berbagai macam opini masyarakat tentang “Bahasa Indonesia” serta penggunaanya, dapat disimpulkan bahwa kandungan yang terdapat pada fungsi–fungsi bahasa Indonesia tidak lagi dapat diaplikasikan di masyarakat.
Sebagai contoh, salah-satu fungsi Bahasa Indonesia yakni sebagai bahasa persatuan, menurut pendapat saya, kini kandungan fungsi tersebut sudah mulai hilang dan mulai luntur di masyarakat, bahkan tidak jarang fanatisme berbahasa daerah dapat memberikan deskriminasi sosial di masyarakat pada pengguna bahasa Indonesia. Ketika di suatu daerah yang sangat minimnya kesadaran masyarakat dalam berbahasa Indonesia, justru banyaknya masyarakat di daerah tersebut yang mencuri kesmpatan untuk berbuat sesuatu yang dinilai melanggar norma hukum kepada para pengguna Bahasa Indonesia. Contoh dalam penggunaan bahasa Indonesia di ranah Sosial-budaya yang mencerminkan deskriminasi sosial berbahasa di masyarakat adalah diberbagai tempat-tempat umum diantara lain seperti di pasar-pasar tradisional, terminal-terminal dan lain-lain.
Banyaknya masyarakat yang berasal dari daerah tersebut mengambil kesempatan pada orang-orang yang menggunakan Bahasa Indonesia, ketika transaksi jual beli, seorang pedagang yang memberikan harga khusus kepada calon pembeli yang menggunakan bahasa daerah, namun sebaliknya seorang pedagang memberikan harga yang relatif lebih mahal kepada pembeli yang menggunakan bahasa Indonesia. Dan ketika ada orang yang menggunakan bahasa Indonesia di tempat-tempat umum sering kali mereka dijadikan bulan-bulan oleh masyarakat daerah tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu diadakan penelitian dengan judul ”Analisis Percakapan transaksi jual beli yang menimbulkan efek deskriminasi terhadap pembeli yang berbahasa Indonesia di pasar Kelewer Surakarta: Analisis Sosiolingistik”.

B. Rumusan masalah
Adapun pokok masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas adalah :
1. Adakah pengaruh fanatisme Berbahasa Daerah terhadap penggunaan Bahasa Indonesia di ranah sosial?
2. Adakah pengaruh bahasa daerah terhadap lunturnya fungsi-fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ditinjau dari perspektif sosiolingistik?
3. Percakapan seperti apa yang dapat menimbulkan efek deskriminasi terhadap pembeli yang berbahasa Indonesia?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejauh mana dampak deskriminasi ditimbulkan dari fanatisme berbahasa daerah terhadap lunturnya fungsi bahasa Indonesia di masyarakat.
2. Mengetahui sejauh mana pengaruh bahasa daerah terhadap lunturnya fungsi-fungsi bahasa Indonesia.
3. Memberikan deskripsi tentang percakapan yang dapat menimbulkan efek dekriminasi

D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini mencakup dua dimensi yakni dimensi keilmuan atau teoritis dan dimensi praktis. Manfaat penelitian ini dapat dirumuskan yakni
Manfaat keilmuan (Teoritis)
• Sebagai acuan pengembangan penelitian di bidang sosiolinguistik
• Memberikan pengetahuan tentang percakapan dalam sebuah transaksi jual beli yang dapat menimbulkan efek deskriminasi

Manfaat Praktis
• Mempertahankan kelestarian nilai fungsi yang terkandung dalam bahasa Indonesia.
• Mewujudkan keharmonisan dalam multibahasa di Indonesia.
• Dapat mengetahui tingkat kesulitan masyarakat dalam berbahasa Indonesia.
• Dapat mengetahui sejauh mana efek deskriminasi yang ditimbulkan oleh fanatisme berbahasa Daerah terhadap pengguna Bahasa Indonesia.
• Mewujudkan nilai-nilai yang terdapat pada fungsi Bahasa Indonesia


BAB II

A. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif tentang telaah percakapan transaksi jual beli yang dapat menimbulkan efek deskriminasi terhadap pembeli yang berbahasa Indonesia di pasar Kelewer menggunakan metode pendekatan analisis psikologis dan sosiolinguistik. Penelitian ini membahas tentang percakapan yang dapat menimbulkan efek deskriminasi yang ditinjau lewat pendekatan sosiolingistik dan psikologis. Serta pemaparan pemerolehan data dan analisis data percakapan yang menimbulkan efek deskriminasi. Adapun pada penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai refrensi dasar sebagai konstruksi pembangun dalam penelitian ini. Anatara lain;
Skripsi Tataria (2007) berjudul: ”Analisis Percakapan Penggunaan Bahasa Pedagang Keturunan Cina di toko sekitar pasar Kadipolo”. Adapun pembahasan pada sekripsi ini adalah tentang analisis percakapan bahasa pedagang keturunan cina di pasar kadpolo ditinjau pada aspek situasi berbahasa dan pragmatik
Skripsi Astuti (2002) berjudul: ”Analisis Tindak Tutur dalam bahasa Percakapan para pedagang di pasar surakarta”. Adapun pembahasan dalam sekripsi ini adalah tentang analisis tindak tutur dalam bahasa percakapan para pedagang di pasar Surakarta ditinjau dari segi pragmatik dan fonologi.

B. Landasan Teori
• Bahasa Indonesia
Meninjau kembali definisi bahasa. Banyaknya pendapat para ahli tentang bahasa, misalnya definisi bahasa menurut Vembriarto Bahasa adalah suatu himpunan simbol yang menunjuk hasil sesuatu (1982: 50). Pengeertian bahasa menurut Bloch and trager bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbiterer yang dipergunakan oleh sesuatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi (1986: 19). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan suatu sarana dalam berkomunikasi, sarana dalam pembentukan ide, gagasan dan informasi, yang berbentuk simbol-simbol bunyi yang bersifat arbiterer. Bahasa merupakan sarana dalam berkomunikasi yang mempunyai fungsi. Adapun fungsi tersebut dijabarkan menjadi tujuh fungsi bahasa yang meliputi:
• Fungsi Instrumental
• Fungsi regulasi
• Fungsi representasi
• Fungsi interaksi
• Fungsi perorangan
• Fungsi heuristik
• Fungsi imajinatif
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional negara Kesatuan Indonesia yang Berdasarkan UUD 1945 BAB XV Pasal 36 fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai Bahasa Persatuan dan Kesatuan, sebagai Identitas bangsa, sebagai alat komunikasi penghubung antara kebudayan, sebagai lambang kebanggan Bangsa.

• Bahasa daerah
Bahasa daerah atau biasa dikenal dengan bahasa ibu sering digunakan masyarakat dalam berkomunikasi dibandingkan bahasa Indonesia, hal ini tidak lain hanyalah karena bahasa ibu lebih bersifat komunikatif ketika berkomunikasi. Ironis melihat realita yang terjadi di masyarakat, apalagi untuk merubah suatu kebiasaan yang sudah mendarah daging. Bahasa Indonesia memiliki dua ruang lingkup bahasa ditinjau dari segi sosial dan budayanya. Pertama, bahasa daerah kedua, bahasa indonesia (Amran: ). Perspektif yang menilai bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang di anak tirikan atau bahasa setelah bahasa daerah tidak begitu adanya karena ketika melihat bahasa Indonesia ditinjau dari segi sosial budaya bahasa Indonesia mempunyai dua ruang lingkup. Adapun bahasa daerah merupakan aset dari negara yang perlu dilestarikan dan bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang berfungsi sebagai bahasa persatuan atau bahasa pemersatu.

• Psikologi sosial
Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus mempunyai tata cara sesuai dengan situasi dan kondisi serta memperhatikan siapa yang menjadi mitra tutur sehingga di dalam komunikasi tersebut atau agar dalam berinteraksi tersebut tidak terjadi missed comunication atau kesalahpahaman di dalam berkomunikasi. Setiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda, baik itu dari faktor internal dan eksternal. Dari faktor internal meliputi fisik dan pisikis. Dari faktor eksternal meliputi sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dsb. Dekkriminasi sosial muncul di masyarakat karena beberapa faktor yang salah satunya adalah karena adanya suatu perbedaan yang mendasar atau dengan kata lain antara penutur dan mitra tutur kurang memiliki kedekatan emosional dalam berkomunikasi sehingga pada waktu berkomunikasi memunculkan sikap pengambilan kesempatan terhadap lawan tuturnya dengan maksud yang negatif sehingga secara eksplisit mengandung unsur kearah perpecahan antar suatu komunitas satu dengan yang lainnya.

• Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan cabang lingistik makro yang lingkup kajiannya berkaitan dengan sosiologi atau berkaitan dengan masyarakat dan budaya di dalam sebuah tuturan. Cabang linguistik ini lebih mengkaji bahasa dengan masyarakat, khususnya penutur bahasa. Sosiolinguistik dalam konsepnya mempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi kebahasaanya dan dengan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya ( Kunjana: 2001: 13). Berdasarkan pengertiannya, penelitian ini lebih mengkaji masalah bahasa dengan sosiologi untuk kemasyarakatan.

C. Kerangka berfikir
Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui sejauh mana dampak deskriminasi yang ditimbulkan dari fanatisme berbahasa daerah terhadap lunturnya fungsi bahasa Indonesia di masyarakat, Memberikan suatu deskripsi tentang penggunaan bahasa Indonesia di msyarakat pada dimensi sosial, Memberikan pemamparan secara dekkriptif tentang percakapan yang dapat menimbulkan efek deskriminasi.
Sehingga pada penelitian ini pembahasannya akan berupa pemaparan beberapa jumlah data hasil percakapan yang dapat membantu untuk mengungkapan beberapa data yang diantaranya adalah percakapan bahasa yang dapat menimbulkan deskriminasi atau kontradiktif dalam nilai-nilai fungsi bahasa Indonesia. Data yang diperoleh akan di analisis dengan pendekatan psikologis dan sosiolinguistik. Dari data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan gambaran yang nyata di dalam kehidupan bermayarakat dalam lingkup sosial tentang keberagaman bahasa yang ternyata dapat menimbulkan efek deskriminasi sosial walaupun prosentase akan deskrimnasinya sangat minim. Dan dari penelitian ini secara eksplisit dapat memberikan suatu gambaran positif dalam mewujudkan nilai-nilai yang terdapat pada fungsi Bahasa Indonesia seperti pada Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV pasal 36.

BAB III

A. Metode Penelitian
1. Tempat dan waktu
a. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di pasar kelewer Surakarta
b. Waktu penelitian
Waktu penelitian berlangsung dari bulan Desember 2008 sampai Januari 2009.
2. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kualitatif karena penelitian ini data yang diperoleh bersifat deskriptif.

3. Teknik pengumpulan data
a. Dialog awal
Di samping memerlukan waktu yang cukup lama untuk memperoleh data, dengan metode interview. peneliti harus memikirkan tentang pelaksanaannya pemerolehan data di pasar kelewer
b. Observasi
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah mengamati bahasa percakapan pedagang di pasar kelewer dan bertransaksi lasngsung dengan pedagang di pasar kelewer seperti yang disebutkan pada bab III point 1A.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah sekumpulan catatan tentang peristiwa yang dianggap penting yang terjadi dimasa lampau atau baru saja terjadi. Dalam penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data-data yang terjadi pada masa lampau seperti pendapat orang-orang yang pernah terkena damapak deskriminasi tersebut.

BAB IV
PEMBAHASAN

Deskriminasi merupakan efek perbuatan ataupun perkataan yang tidak seimbang sehingga membentuk suatu tingkatan-tingkatan yang dapat menimbulkan ketidaksetaraan. Deskriminasi bahasa dapat ditimbulkan oleh pemakai bahasa. Sehingga dalam hal ini tindak kaji pada deskriminasi bahasa adalah para pengguna bahasa yang di antaranya adalah percakapan transaksi jual beli di pasar kelewer surakarta. Pada kesempatan ini untuk mengetahui adakah di dalam transaksi tersebut menimbulkan efek deskriminasi, peneliti mengambil dua sample data yang berwujud bahasa Indonesia dan bahasa daerah atau bahasa jawa yang menjadi bahasa asal daerah tersebut.
Pengelompokan perolehan data sejumlah delapan trasnsaksi jual beli adapun di antaranya empat menggunakan bahasa Indonesia dan empat menggunakan bahasa jawa, hal ini untuk mengetahui efek deskriminasi yang ditimbulkan pada setiap dua trasnsksi jual beli. Dari data yang diperoleh 75% dari delapan transaksi pada data transaksi yang diperoleh menunjukan peluang akan tindak deskriminasi lewat bahasa dalam percakapan transaksi jual beli. Perbandingan tersebut sungguh tidak relevan dengan yang terkandung dalam fungsi bahasa Indonesia.

• Fanatisme Berbahasa Daerah terhadap penggunaan Bahasa Indonesia di ranah sosial

Fanatisme berbahasa daerah terkadang dapat menimbulkan deskriminasi terhadap pengguanaan bahasa Indonesia. Banyak hal yang dapat ditemui pada penggunaan bahasa di berbagai tempat dan di berbagai suasana. Di antaranya dapat ditemui dari berbagai transasksi jual beli yang terjadi di pasar kelewer surakarta. Ternyata ketika berkomunikasi dengan penjual yang menggunakan bahasa daerah dan dengan menggunakan bahasa Indonesia dapat dilihat perbedaan yang sangat relatif jauh berbeda. Hal ini dapat di lihat dari percakapan berikut:


Percakapan 1a
A : Brem satunya berapa bu?
B: Enam ribu mas.
A: Kalau tiga ribu, gimana bu?
B: Ya ndak dapet no mas?
A: kalau empat ribu gimana bu?
B: ya sudah. Belinya berapa?
A:Cukup satu aja bu.

Percakapan 1b
A: Brem niki pinten bu? (Brem ini berapa bu?)
B: Engkang ageng gangsal ewu engkang alit tigang ewu ( Kalau yang besar 5000 dan kalau yang kecil 3000)
A: Engkang ageng tigang ewu diengge rayi kulo (Kalau yang besar tiga ribu buat saudara saya)
B: Dereng angsal (Belum dapat)
A: Tigang ewu? (3000)
B: Enggeh empun (Ya sudah)

Dua percakapan tersebut merupakan transaksi jual beli yang diperoleh dari satu kios. Satu diantaranya pembeli menggunakan bahasa Indonesia yaitu pada percakapan 1a dan satu di antaranya si pembeli menggunakan bahasa jawa sebagai alat untuk berkomunikasi dalam transaksinya yaitu pada percakapan 1b. Pada waktu percakapan 1a yang pembelinya menggunakan bahasa Indonesia ketika membeli brem mendapatkan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pembeli yang menggunakan bahasa Jawa. Seperti pada pembahasan awal ternyata fanatisme berbahasa daerah sangat mendukung akan deskriminasi tersebut. Pada percakapan selanjutnya juga dapat dillihat


Percakapan transaksi jual beli 2a
A: Mas bakpia harganya berapa?
B: lima belas ribu mas.
A: kalau sepuluh ribu gimana mas?
B: Ndak dapet mas?
A: Masak gak dapet mas? Kalau sebelas ribu gimana?
B: Ndak dapet juga mas.
A: Ya udah, satu ya mas?
Percakapan transaksi jual beli 2b
A: Mas ragi bakpia pinten? (Mas harga bakpianya berapa?)
B: Gangsal welas (15000)
A: Mboten angsal mandhap mas? (Tidak dapat turun mas?)
B: Kaleh welas ewu (12000)
A: Mboten angsal mandhap meleh? (tidak dapat turun lagi mas?)
B: Setunggal ewu (1000)
A: Sedoso ewu (10000)
B: enggeh empun (Ya sudah)

Perbedaan bahasa dapat menimbulkan dampak harga transaksi jual beli. Ditinjau dari pendekatan psikologis sosial di dalam diri setiap individu mempunyai pemikiran berbeda ketika dihadapkan pada suatu persoalaan yang membuat individu tersebut beralih pikiran dengan cara harus memberikan suatu keselarasan pikiran yang sama. hal ini akan muncul suatu kedekatan emosional di dalam diri individu sehingga menimbulkan suatu ikatan yang dapat memberikan rasa nyaman kedua belah pihak. Dalam hal ini rasa aman tersebut muncul karena kesamaan bahasa yang digunakan antar kedua belah pihak.
Bahasa dapat digunakan dalam penyatuan pikiran sehingga untuk memberikan suatu ketrikatan harus memberikan kesamaan pikiran lewat bahasa. Fanatisme berbahasa daerah memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan bahasa Indonesia, karena secara tidak langsung dapat memberikan suatu kecemburuan sosial di dalam bermasyarakat.


• Pengaruh bahasa daerah terhadap lunturnya fungsi-fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ditinjau dari perspektif sosiolingistik

Setiap daerah di Indonesia mempunyai bahasa, bahasa tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda dalam tuturanya dari segi kata bunyi dan kalimatnya sehingga keragaman yang muncul mencerminkan dari karakter individu setiap daerah tersebut. Namun karakter yang menjadi keunggulan bahasa pada setiap daerah menjadi suatu sarana yang sangat menjanjikan untuk memberikan suatu tindak negatif pada pengguna bahasa yang tidak dapat berbahasa daerah tersebut.
Keberagaman suku dan bahasa yang diikat dengan bahasa Indonesia lewat fungsi bahasa Indonesia ternyata tidak seperti yang diharapkan pada kenyataannya. Konsep nilai fungsi bahasa yang mewujudkan cerminan solidaritas antar suku dan budaya terhadap berbagai macam suku sulit untuk terwujud karena beberapa faktor fanatisme berbahasa daerah. Dari keempat percakapan tersebut sudah mewakili dari deskriminasi yang ditimbulkan dari percakapan transaksi jual beli. Seperti halnya pada percakapan di bawah ini:

Percakapan transaksi jual beli 1a
A : Brem satunya berapa bu?
B: Enam ribu mas.
A: Kalau tiga ribu, gimana bu?
B: Ya ndak dapet no mas?
A: kalau empat ribu gimana bu?
B: ya sudah. Belinya berapa?
A:Cukup satu aja bu.

Percakapan transaksi jual beli 1b
A: Brem niki pinten bu? (Brem ini berapa bu?)
B: Engkang ageng gangsal ewu engkang alit tigang ewu ( Kalau yang besar 5000 dan kalau yang kecil 3000)
A: Engkang ageng tigang ewu diengge rayi kulo (Kalau yang besar tiga ribu buat saudara saya)
B: Dereng angsal (Belum dapat)
A: Tigang ewu? (3000)
B: Enggeh empun (Ya sudah)

Percakapan transaksi jual beli 2a
A: Mas bakpia harganya berapa?
B: lima belas ribu mas.
A: kalau sepuluh ribu gimana mas?
B: Ndak dapet mas?
A: Masak gak dapet mas? Kalau sebelas ribu gimana?
B: Ndak dapet juga mas.
A: Ya udah, satu ya mas?

Percakapan transaksi jual beli 2b
A: Mas ragi bakpia pinten? (Mas harga bakpianya berapa?)
B: Gangsal welas (15000)
A: Mboten angsal mandhap mas? (Tidak dapat turun mas?)
B: Kaleh welas ewu (12000)
A: Mboten angsal mandhap meleh? (tidak dapat turun lagi mas?)
B: Setunggal ewu (1000)
A: Sedoso ewu (10000)
B: enggeh empun (Ya sudah)

• Percakapan seperti apa yang dapat menimbulkan efek deskriminasi terhadap pembeli yang berbahasa Indonesia
Seperti pada transaksi 1a dan 1b dapat dilihat berupa perbedaan yang sangat signifikan menjadikan perbedaan antara harga terhadap pengaruh bahasa pada trasnsaksi tersebut. Pada 1a dan 2a pembeli yang menggunakan bahasa Indonesia membeli barang yang sama dan tempat yang sama dengan penjual yang sama mendapatkan harga yang berbeda dengan pembeli yang menggunakan bahasa jawa seperti pada transaksi 1b dan 2b. Perbedaan itu memberikan dampak deskriminasi terhadap pembeli yang berbahasa Indonesia.

Percakapan transaksi jual beli 1a
A : Brem satunya berapa bu?
B: Enam ribu mas.
A: Kalau tiga ribu, gimana bu?
B: Ya ndak dapet no mas?
A: kalau empat ribu gimana bu?
B: ya sudah. Belinya berapa?
A:Cukup satu aja bu.

Percakapan transaksi jual beli 1b
A: Brem niki pinten bu? (Brem ini berapa bu?)
B: Engkang ageng gangsal ewu engkang alit tigang ewu ( Kalau yang besar 5000 dan kalau yang kecil 3000)
A: Engkang ageng tigang ewu diengge rayi kulo (Kalau yang besar tiga ribu buat saudara saya)
B: Dereng angsal (Belum dapat)
A: Tigang ewu? (3000)
B: Enggeh empun (Ya sudah)

Percakapan transaksi jual beli 2a
A: Mas bakpia harganya berapa?
B: lima belas ribu mas.
A: kalau sepuluh ribu gimana mas?
B: Ndak dapet mas?
A: Masak gak dapet mas? Kalau sebelas ribu gimana?
B: Ndak dapet juga mas.
A: Ya udah, satu ya mas?

Percakapan transaksi jual beli 2b
A: Mas ragi bakpia pinten? (Mas harga bakpianya berapa?)
B: Gangsal welas (15000)
A: Mboten angsal mandhap mas? (Tidak dapat turun mas?)
B: Kaleh welas ewu (12000)
A: Mboten angsal mandhap meleh? (tidak dapat turun lagi mas?)
B: Setunggal ewu (1000)
A: Sedoso ewu (10000)
B: enggeh empun (Ya sudah)

BAB V
SIMPULAN

Fanatisme berbahasa daerah seperti menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pengguna bahasa Indonesia. Ketika dihadapkan pada suatu kenyataan yang sulit untuk diterima akan kebenaranya. Pada data di atas telah di sebutkan akan tindak deskriminasi yang dihasilkan pada beberapa transaksi terhadap penjual dan pembeli yang menggunakan bahasa jawa sebagai alat untuk berkomunikasi dan denagn bahasa Indonesia sebagai alat utnuk berkomunikasi.
Transaksi yang telah dilakuakn mengungkapkan bahwa setiap transaksi yang terjadi di pasar kelewer khususnya pada penggunaa bahasa Indonesia rentan akan tindak keisengan dari penjual yang berjualan di pasar tersebut. Beberapa percakapan telah disajikan dan dipaparkan utnuk membuktikan bahwa deskriminasi yang terjadi di sebapkan oleh terpengaruh oleh fanatisme berbahasa daerah.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) bahasa Indonesia

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas Kelas X Semester 1


Mata pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/semester : X/ 1
Pertemuan ke- : 1
Alokasi waktu : 2 X 45

Standar kompetensi :Mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi
melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi dan bercerita

Kompetensi dasar :Memperkenalkan diri dan orang lain di dalam forum resmi dengan intonasi yang tepat

Indikator
• Mampu berbicara di depan forum resmi
• Mampu memahami dan memperaktekan tata cara berbicara di depan forum resmi dengan memperkenalkan diri sendiri dan orang lain
• Mampu berbicara di depan forum resmi dengan menggunakan intonasi yang tepat

Tujuan pembelajaran:
• Mampu berbicara di depan forum resmi
• Mampu memahami dan memperaktekan tata cara berbicara di depan forum resmi dengan memperkenalkan diri sendiri dan orang lain
• Mampu berbicara di depan forum resmi dengan menggunakan intonasi yang tepat



Materi ajar :

Model pembelajaran :
Model pembelajaran CTL dengan mengkaitkan metode pembelajaran CBSA akan menjadi metode yang sangat relefansi dalam implementasian pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar sesuai dengan Standar Isi. Adapun metode pembelajarannya meliputi demonstrasi, diskusi, inkuiri

 Diskusi
Siswa akan dibentuk kemandirirannya dan keaktifannya melalui jalannya diskusi. Siswa secara kseluruhan dibentuk menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 10 orang, setiap kelompok harus mempunyai 1 moderator yang dipilih oleh kelompok itu sendiri untuk mewakili jalannya diskusi.

 Inkuiri
Siswa akan dibentuk kecakapannya dalam memahami atau merumuskan dari apa yang telah mereka amati. Adapun pembelajarannya meliputi; Siswa menonton video talk show bertema Sex Education yang telah disediakan oleh guru. Percakapan moderator dari awal hingga akhir menjadi fokus yang harus diamati siswa. Kemudian siswa dengan kelompoknya membuat rumusan tentang bahan materi moderator yang akan disajikan lewat jalan diskusi melalui contoh percakapan moderator pada Talk Show di dalam video tersebut.
 Demonstrasi
Siswa akan terlihat kompetensi yang mereka miliki antara lain; kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun Pembelajarannya meliputi; Salah satu siswa yang ditunjuk kelompoknya untuk menjadi moderator, kini mulai mendemonstrasikan hasil rumusan bahan yang akan diimplementasikan di depan kelas lewat jalannya diskusi.






Langkah-langkah pembelajaran
No Kegiatan Keterangan Alokasi waktu
1 Kegiatan awal • Mengkondisikan suasana kelas (Mengucapkan salam dan persensi)
• Menyampaikan materi yang akan disampaikan hari ini yaitu Memperkenalkan diri dan orang lain di dalam forum resmi dengan intonasi yang tepat
• Mengkaitkan materi pertemuan sebelumnya dengan pertemuan sekarang 15 menit
2 Kegiatan inti • Siswa menonton video talk show dengan tema Sex Education yang telah disediakan oleh guru. focus dalam menonton Talk Show ini adalah siswa diharapkan mampu untuk memperaktekan tata cara moderator dalam membawakan sebuah acara.
• Membentuk forum diskusi yang dantaranya keseluruhan siswa dibagi menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 10 orang, setiap kelompok harus mempunyai moderator untuk mewakili setiap kelompok dalam menjalankan diskusi
• Setelah bahan materi untuk moderator selesai dirumuskan oleh setiap kelompok, salah satu dari perwakilan kelompok yang ditunjuk sebagai moderator untuk berdemonstrasi memperkenalkan kelompoknya. 60 menit
3 Kegiatan akhir • Simpulan ( Materi yang berkaitan dengan pembelajran)
• Penutup (salam penutup dan kisi-kisi materi yang akan dipelajari pertemuan yang akan datang) 15 menit

Alat/ bahan/ sumber belajar :
 Alat :
Televisi, VCD Talk Show “Sex Education”

 Sumber Belajar :
Pengalaman pribadi siswa, Buku Acuan (Widyamartaya.
1980, kreatif berwicara. Yogyakarta: Kanisus).

Penilaian :
No Nama kelompok & Anggota Penilaian
Keterampilan berbicara Pengembangan materi untuk moderator
1.

Table di atas merupakan penilaian kinerja. Nilai tertinggi adalah sekor A dan nilai terendah adalah Sekor D, setiap katagori pencapaian penilaian mendapat hitungan 5 point
.Keterangan :
A : 7-10 point
B : 5-7 point
C : 3-5 point
D : 0-3 point

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas Kelas X Semester 1

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas Kelas X Semester 1


Mata pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/semester : X/ 1
Pertemuan ke- : 1
Alokasi waktu : 2 X 45

Standar kompetensi :Mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi
melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi dan bercerita

Kompetensi dasar :
Memperkenalkan diri dan orang lain di dalam forum resmi dengan intonasi yang tepat

Indikator
• Mampu berbicara di depan forum resmi
• Mampu memahami dan memperaktekan tata cara berbicara di depan forum resmi dengan memperkenalkan diri sendiri dan orang lain
• Mampu berbicara di depan forum resmi dengan menggunakan intonasi yang tepat

Tujuan pembelajaran:
• Mampu berbicara di depan forum resmi
• Mampu memahami dan memperaktekan tata cara berbicara di depan forum resmi dengan memperkenalkan diri sendiri dan orang lain
• Mampu berbicara di depan forum resmi dengan menggunakan intonasi yang tepat

Materi ajar :

• Memperkenalkan diri dan orang lain dalam forum resmi
Seperti yang kita ketahui dan sering kita amati, baik itu dari pengalaman pribadi, di lingkungan sekitar ataupun dari berbagai macam media, tentang sesuatu yang berkaitan dengan forum resmi. Misalnya; *seminar, workshop, simposium. Ketika melihat di lingkungan sekolah, ada rapat organisasi siswa, diskusi kelompok, dan tak jarang pula ketika menjumpai di lingkungan masyarakat seperti rapat karang taruna ataupun rapat keorganisasian lainnya di masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa forum-forum resmi sering kita jumpai di berbagai kesempatan.
Sering kita temui kendala-kendala yang dihadapi sewaktu berbicara di depan umum atau public speaking, apa lagi dengan suasana yang di haruskan untuk santun dalam berbicara dan dihadapkan banyak orang sebagai pendengar. tak heran dalam kesempatan ini mayoritas orang yang apabila tidak mempersiapkan diri dengan baik akan merasa minder, nerfes atau yang umum kita kenal dengan nama demam panggung.
Seperti yang sering kita lihat pada setiap moment acara formal dimana ada beberapa komponen yang berpengaruh dalam suatu acara seperti sang moderator, host atau pembawa acara, ada forum selaku pendengar, tokoh-tokoh atau narasumber yang ikut serta dalam acara tersebut.
Seorang moderator, host ataupun pembawa acara bertugas sebagai pembuka jalanya suatu acara, adapun salah satu dari sifat yang harus dimiliki moderator adalah harus mempunyai sikap yang komunikatif, persuasive dan *intelektualitas. Yang dimana dalam suatu moment acara, peranan moderator sangatlah penting, seperti memperkenalkan topik pembahasan acara, memperkenalkan diri dan memperkenalkan narasumber acara tersebut. Moderator bersifat sebagai penggerak yang mampu menjalankan acara. Baik atau tidaknya hasil suatu acara tergantung di tangan moderator. Akan tetapi sangat disayangkan dan tidak dapat dibayangkan jika seorang moderator tanpa melakukan persiapan sewaktu membawakan sebuah acara. Pasti dari ilustrasi tersebut kita dapat membayangkan hasil dari suatu acara tersebut seperti apa.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan seorang pembawa acara dalam forum resmi:
1. Mengetahui sasaran tujuan acara
2. Menguasai situasi
3. Terampil dalam berbicara (^penggunaan bahasa baku, penggunaan kalimat efektif)
4. Mempunyai pengetahuan yang luas (Menguasai materi pembahasan acara)
5. Luwes dalam penampilan dan *berimprovisasi
6. Mempunyai sifat yang komunikatif dan *persuasive


Model pembelajaran :

Model pembelajaran CTL dengan mengkaitkan metode pembelajaran CBSA akan menjadi metode yang sangat relefansi dalam implementasian pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar sesuai dengan Standar Isi. Adapun metode pembelajarannya meliputi demonstrasi, diskusi, inkuiri

 Diskusi
Siswa akan dibentuk kemandirirannya dan keaktifannya melalui jalannya diskusi. Siswa secara kseluruhan dibentuk menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 10 orang, setiap kelompok harus mempunyai 1 moderator yang dipilih oleh kelompok itu sendiri untuk mewakili jalannya diskusi.

 Inkuiri
Siswa akan dibentuk kecakapannya dalam memahami atau merumuskan dari apa yang telah mereka amati. Adapun pembelajarannya meliputi; Siswa menonton video talk show bertema Sex Education yang telah disediakan oleh guru. Percakapan moderator dari awal hingga akhir menjadi fokus yang harus diamati siswa. Kemudian siswa dengan kelompoknya membuat rumusan tentang bahan materi moderator yang akan disajikan lewat jalan diskusi melalui contoh percakapan moderator pada Talk Show di dalam video tersebut.
 Demonstrasi
Siswa akan terlihat kompetensi yang mereka miliki antara lain; kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun Pembelajarannya meliputi; Salah satu siswa yang ditunjuk kelompoknya untuk menjadi moderator, kini mulai mendemonstrasikan hasil rumusan bahan yang akan diimplementasikan di depan kelas lewat jalannya diskusi.

Langkah-langkah pembelajaran

No Kegiatan Keterangan Alokasi waktu
1 Kegiatan awal • Mengkondisikan suasana kelas (Mengucapkan salam dan persensi)
• Menyampaikan materi yang akan disampaikan hari ini yaitu Memperkenalkan diri dan orang lain di dalam forum resmi dengan intonasi yang tepat
• Mengkaitkan materi pertemuan sebelumnya dengan pertemuan sekarang 15 menit
2 Kegiatan inti • Siswa menonton video talk show dengan tema Sex Education yang telah disediakan oleh guru. focus dalam menonton Talk Show ini adalah siswa diharapkan mampu untuk memperaktekan tata cara moderator dalam membawakan sebuah acara.
• Membentuk forum diskusi yang dantaranya keseluruhan siswa dibagi menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 10 orang, setiap kelompok harus mempunyai moderator untuk mewakili setiap kelompok dalam menjalankan diskusi
• Setelah bahan materi untuk moderator selesai dirumuskan oleh setiap kelompok, salah satu dari perwakilan kelompok yang ditunjuk sebagai moderator untuk berdemonstrasi memperkenalkan kelompoknya. 60 menit
3 Kegiatan akhir • Simpulan ( Materi yang berkaitan dengan pembelajran)
• Penutup (salam penutup dan kisi-kisi materi yang akan dipelajari pertemuan yang akan datang) 15 menit

Alat/ bahan/ sumber belajar :
 Alat :
Televisi, VCD Talk Show “Sex Education”

 Sumber Belajar :
Pengalaman pribadi siswa, Buku Acuan (Widyamartaya.
1980, kreatif berwicara. Yogyakarta: Kanisus).

Penilaian :
No Nama kelompok & Anggota Penilaian
Keterampilan berbicara Pengembangan materi untuk moderator
1.

Table di atas merupakan penilaian kinerja. Nilai tertinggi adalah sekor A dan nilai terendah adalah Sekor D, setiap katagori pencapaian penilaian mendapat hitungan 5 point
.Keterangan :
A : 7-10 point
B : 5-7 point
C : 3-5 point
D : 0-3 point

RPP (Rencana Pembelajaran)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas kelas X Semester 1


Mata pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/semester : X/ 1
Pertemuan ke- : 3
Alokasi waktu : 2X 45
Standar kompetensi : Mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi
melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi dan bercerita
Kompetensi dasar : Menceritakan pengalaman dengan pilihan kata dan
ekspresi yang tepat
Indikator :
• Mampu menceritakan pengalaman yang menarik
• Mampu berekspresi dengan cara bercerita di depan kelas
• Mampu memahami teknik-teknik bercerita
Tujuan pembelajaran :
• Mampu menceritakan pengalaman yang menarik
• Mampu berekspresi dengan cara bercerita di depan kelas
• Mampu memahami teknik-teknik bercerita


Materi ajar :
Teknik-teknik yang harus diperhatikan dalam bercerita di depan kelas
 Mimik
Mimik erat hubungannya dengan komunikasi mata. Mimik adalah ekspresi wajah sehubungan dengan perasaan yang dikandung. Untuk menghasilkan penjiwaan yang optimal ketika bercerita kita harus konsentrasi dan menghayati akan cerita yang disampaikan.
 Diksi
Diksi berarti pengucaoan kata yang jelas tidak tergesah-gesah, mudah dipahami orang dan sesuai makna yang terkandung.
 Intonasi
Intonasi merupakan suatu nada yang dapat membantu efektifitas dalam bercerita. Kegunaan intonasi adalah sebagai penekanan pada kata-kata tertentu sehingga dapat menandai suasana.
 Solahhbawa
Solahbawa adalah gerak tubuh atau anggota badan. Dalam bercerita solahbawa sangat diperlukan gunanya untuk lebih meyakinkan dalam bercerita, untuk mempertegas suasana dalam bercerita.
(Widyamartaya, 1980 : 39 - 43)


Model pembelajaran :

Metode pembelajaran CBSA atau pembelajaran dengan cara mengaktifkan siswa. Adapun pembelajarannya meliputi Belajar dengan memanfaatkan lingkungan sekitar dan keterampilan proses.
 Memanfaatkan lingkungan
Siswa dilatih utnuk memanfaatkan lingkungan sekitar dalam pembelajaran. Dalam hal ini yang menjadi konteks pembelajaran adalah siswa diminta untuk menulis pengalaman menarik yang pernah dialaminya.
 Keterampilan proses
Siswa akan dilihat keterampilan berbicaranya dengan bercerita di depan kelas menggunakan ekspresi dan pilihan kata yang tepat. Dalam hal ini keterampilan bercerita siswa akan menjadi fokus penilaian.
Langkah-langkah pembelajaran

No Kegiatan keterangan Alokasi waktu
1 Kegiatan awal • Mengkondisikan suasana kelas (Mengucapkan salam dan persensi)
• Menyampaikan materi yang akan disampaikan hari ini yaitu Menceritakan pengalaman dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat
• Mengkaitkan materi pertemuan sebelumnya dengan pertemuan sekarang 15 menit
2 Kegiatan inti • Siswa membuat sebuah karangan yang bertema “pengalaman menarik”
• Siswa menceritakan pengalamannya di depan kelas berdasakan karangan yang telah dibuat oleh siswa 60 menit
3 Kegiatan akhir • Simpulan ( Materi yang berkaitan dengan pembelajran)
• Penutup (salam penutup dan kisi-kisi materi yang akan dipelajari pertemuan yang akan datang) 15 menit

Alat/ bahan/ sumber belajar :

 Alat :
Televisi, DVD, Film Laskar Pelangi
 Sumber Belajar :
Pengalaman pribadi siswa, Buku Acuan (Widyamartaya. 1980, kreatif berwicara. Kanisus: yogyakarta)

Peneliaian :
No Nama Siswa Penilaian
Ekspresi Intonasi Diksi Mutu cerita
1.

Table di atas merupakan penilaian kinerja. Nilai tertinggi adalah sekor A dan nilai terendah adalah Sekor D, setiap katagori pencapaian penilaian mendapat hitungan 1 point
.Keterangan :
A : 4 point
B : 3 point
C : 2 point
D : 1 point

artikel sosial

Bertato dan Bertindik, Ngga’
Takut Dicap Ndugal

Menggambari badan secara permanen dengan tato serta bertindik bagi kaum laki-laki sebenarnya bukan hal baru. Sudah sejak lama orang mengenal dua hal ini, namun bagaimana jika ada siswa sekolah melakukan hal ini dan bagaimana pendapat teman sebayanya?
Beberapa tokoh idola anak muda yang kerap muncul ditelevisi anggota badannya bertato. Kehidupan mereka tampak wajar-wajar saja tidak urakan bahkan terkadang tampak mengasikkan. Di sisi lain, di media juga kerap muncul berita tentang rasia preman dengan sasaran orang diduga kerap melakukan tindakan premanisme. Entah sebuah kebetulan atau tidak orang yang terkena rasia tersebut kebanyakan memiliki tato di bagian tubuhnya dan sebagian juga bertindik baik itu di kuping maupun di bagian lain di wajah. Namun di sisi lain mereka jga menganggap yang bertato dan yang bertindik terkesan urakan apalagi juga kedua tindakan ini dilakukan oleh anak yang duduk di bangku sekolah
Kesan Negatif
Meski terkesan begitu, ternyata ada lho siswa di Solo yang badannya bertato atau bertindik. Seperti dikatakan salah satu siswa SMK Pratama, Bayu Novianto. Ada beberapa temannya yang memiliki tindik di lidah agar tidak ketahuan gurunya. Meski tidak tampak di luar namun baginya hal itu tetap mengesankan negatif pada anak itu selain urakan, ndugal, juga nakal.
“Kalau ditato dan ditindik kesannya negatif, nakal, dan urakan. Ada temen saya yang ditindik lidahnya, ya walaupun ngga pakai penanda logam tapi kesannya tetap negatif,” Kata siswa kelas ll otomotif ini. Sementara itu salah satu temannya, Wanda Prasetya Putra mengatakan hal senada


dengan bayu. Dia menambahkan selain terkesan negatif bertato dan bertindik sendiri sebenarnya tidak perlu dilakukan karena dapat menghalangi peluang mereka untuk meraih maa depan.
Sebagai contoh, berdasarkan pengalamanya dalam mengikuti seleksi pekerjaan di sebuah perusahaan , salah satu perusahaan saya harus melakukan syarat umum adalah bebas tato dan tindik. “Selain urakan, kalu ada seleksi perusahaan di peusahaan yang bonafit pasti tidak ada yang lolos karena mereka memperssyaratkan bebas tato dan tindik”, kata dia. Terpisah salah satu siswa SMA Batik 1 Solo, Dresdiando Samodra mengatakan tato dan tindik itu merupakan salah satu larangan keras dari orang tuanya. Sehingga terbesit di benaknya untuk menggambari badannya dengan jarum suntik atau melubangi daun telinganya. Lepas dari larangan tersebut dia juga menganggap bahwa tato dan tindik memberikan kesan negatif, baik di sekolah maupun di masyarakat. “Kesannya tidak baik. Selain itu, biasanya orang tua juga melarang bertato dan bertindik”, kata dia.

Suara Merdeka, Kamis 9 April 2009

artikel pendidikan

PENDIDIKAN BUKAN MENCETAK SISWA MENJADI SEORANG PETARUNG


Pendidikan adalah sarana pembentukan karakter peserta didik, transfer ilmu dan pencapaian tingkat kebutuhan yang akan diabdikan kepada lingkungan atau negara dalam lingkup besar, membicarakan sebuah pembentukan karakter dimaksudkan agar peserta didik memperoleh suatu ahklak, moral dan budi pekerti yang mulia sehingga dalam kompetensi yang akan dicapai adalah kemampuan afektif. Kemampuan afektif ini akan memberikan dampak positif seperti wujud-wujud sikap positif yang diaplikasikan ke lingkungannya.
Pendidikan juga sebagai transfer ilmu dimana kemampuan berfikir atau knowlage menjadi acuan yang paling utama. Transfer ilmu ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan apapun yang berhubungan dengan materi pembelajaran ataupun diluar materi pembelajaran. Ketika membicarakan tentang konwlage atau kognitif, peserta didik mempunyai hak untuk mendapatkan suatu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Ketika memperoleh pengetauhan tersebut peserta didik seperti halnya filosofi pendidikan sekarang yang berbasis kompetensi adalah siswa merupakan subjek dalam pembelajaran. Dalam hal ini peserta didik dituntut kecakapanya dalam mencari pengetahuan sendiri dengan menggunakan media apapun untuk mencapai pengetahuan tersebut dengan mengikuti instruksi dari guru. Terkait dalam hal ini guru sebagai motifator dan fasiltator dalam proses pembelajaran guru lebih cenderung menanamkan moralitas ke anak didik dan lebih memperhatikan strategi atau metode dalam pembelajaran, baik itu dari kesiapan pserta didik dan kematangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang akan dicapai.
Pencapaian tingkat kebutuhan yang akan diabadikan pada lingkungan atau Negara dalam lingkup besarnya maksudnya pencapaian dalam memperoleh suatu yang dapat dimanfaatkan dan dapat didayagunakan untuk lingkungan, daerah atau negaranya. Sebagai bentuk hasil inovasi dalam pendidikan adalah kurikulum KTSP yang dimana karakteristik kurikulum ini lebih pada desentralisiasi atau otonomi pada sekolah-sekolah sehingga sekolah dapat memberikan atau mengembangkan kebutuhan daerahnya dengan mengaplikasikan pada sejumlah mata pelajaran yang relevan dengan kebutuhan daerahnya. Terkait dengan pendayagunaan segenap peran aktif sekolahan dapat membantu memberikan solusi bagi pengembangan di daerah sekolah tersebut dan memanfaatkan sumber kekayaan atau potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Pencapaian semua itu tidak lepas dari pencapaian kemampuan psikomotorik peserta didik. Dengan mengembangkan motorik-motorik peseta didik lewat rangsangan-rangsangan positf akan membentuk peserta didik yang mempunyai mental dalam persaingan menghadapi aman globalisasi.
Tidak terlepas dari itu, fenomenal yang terjadi di masyarakat dan berakar ke pendidikan suatu permasalahan yang sangat klasik namun sangat memperihatinkan adalah sebuah tindak kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Menindak lanjuti dari pengertian diatas tentang pendidikan sangat disayangkan ketika sejauh ini tindak kekerasan di dalam dunia pendidikan masih dapat dirasakan di sekolah-sekolahan dan tidak menutup kemungkinan yang melakukan tindak kekerasan tersebut adalah guru, namun tindak kekerasan yang diawali oleh guru sudah mulai di tanggapi dan ditangani sangat serius oleh pemerintah. Karena guru merupakan orang yang memberikan suatu petuah-petuah dan tauladan bagi siswanya, seperti pepatah orang-orang dulu adalah “guru kencing berdiri anak kencing berlari”, setiap perkataan dan perbuatan guru menjadi contoh bagi siswanya, ketika guru melakukan yang baik secara otomatis siswa juga lebih bersikap baik dan apa bila guru mempunyai perilaku yang kurang baiksecara otomatis juga perilaku siswanya akan lebih buruk dari perilaku gurunya. Berlandaskan pendekatan psikologis yang menyebutkan bahwa perilaku orang terhadap kita merupakan cerminan dari perilaku kita. Sehingga dari sini dapat kita simpulkan kemana larinya guru dalam mendidik siswa kesitu juga siswa melangkah. Karena perilaku siswa tidak terlepas pada kemampuan guru dalam mengkondisikan siswanya. bukan hanya itu guru jug merupakan sebagai fasilitator, motifator bagi perkembangan moralitas anak. Tindak kekerasan guru terhadap peserta didik walaupun masih ada dibeberapa sekolah tetapi sudah mulai diminamilisir tindak kekrasan tersebut. Seperti halnya pada sekolah-sekolahan didaerah walaupun mempunyai status negeri, akan tetapi masih menerapkan cara belajar yang bersifat militer, ambil contoh dari fakta yang relefan dan empirik setelah . sang guru menerangkan materi pelajaran yang berkaitan dengan mata pelajarannya, kini sang guru mencoba menayakan kembali kepada peserta didiknya, dan ketika peserta didiknya ada yang tidak bisa menjelaskan kembali dan menjawab pertanyaan dari sang guru dengan sepontan sang guru melayangkan tanganya kekepala anak didiknya. Tapi semua itu akhirnya dapat diproses oleh pihak sekolah akan tindakan sang guru tersebut.
Kasus-kasus kekrasan yang terjadi sungguh sangat tidak singkron dengan konsespsi dan tujuan pendidikan. Bahkan yang lebih parahnya lagi adalah kekerasan yang terjadai anatar golongan atau sekelompok pelajar yang dalam hal ini sangat kontradiktif dengan tujuan dan pengertian pendidkan itu sendiri. Masih saja kita lihat perkelahian antar pelajar, premanisiasi dikalangan pelajar, pemberontakan murid terhadap guru. Kasus-kasus seperti ini sangat memperihatinkan ambil contoh beberapa kasus yang belum lama ini terdengan adalah sekelompok pelajar wanita yang menamai dirinya sebagai geng “nero” di Pati, perkelahian antar pelajar SMA di Jakarta, perkelahian geng motor di Bandung yang mayoritas anggotanya adalah pelajar dan masih banyak lagi yang belum teridentifikasi. Itu semua dapat dijadikan introfeksi yang mendalam atau sebuah renungan dan sebagai bahan evaluasi menghadapi tindak-tindak kerasan yang terjadi di dalam pendidikan. Menurut arif rahman sebagai tokoh pengamat pendidikan kesalahan pendidikan kita sekarang adalah lebih merangsangkan otak kiri dalam proses pembelajaran tanpa menyeimbangkan otak kanan sebagai penyeimbang motorik dalam berprilaku. Otak kiri diprogram untuk segala sesuatu yang bersifat sistematis atau sesuatu yang bersifat pasti. Akan tetapi pengemabangan otak kanan terlanjur dikesampingkan, penanaman moralitas, dan ahklak serta yang bersifat pengembangan rangsangan motorik yang positif kurang dieksplorasi sehingga dalam penerapanya cenderung mencetak peserta didik yang siap untuk menjadi petarung. Sangat disayangkan ketika yang diharapkan oleh pendidikan peserta didik menjadi seorang yang dapat mengabdikan dirinya ke daerahnya dan Negara dalam lingkup besar, tapi kenyataanya peserta didik yang diharapkan belum dapat hadir dalam sosok yang mampu memberikan potensinya kedaerah dan negaranya.
Untuk memajukan martabat pendidkan sebagaimna penyelarasan tujuan dari pendidikan itu dapat tercapai secara komperhansif maka di dalam dunia pendidikan harus dan lebih memperioritaskan suatu yang benar-benar menjadi penyeimbang dalam keberagaman karakter peserta didik dan lebih memahami kebutuhan peserta didik yang relevan dengan pendayagunaan potensi lingkungan di daerahnya dan yang paling utama adalah pemberdayaan ahlak dan moralitas seperti adat budaya timur yang menjunjung aspek morallitas dan tingkat kepeduliannya berdasarkan ahlak yang baik ditambah dengan respon dan kepekaan guru dalam menyikapi keberagaman peserta didiknya dengan metode pembelajaran yang lebih menanamkan nilai-nilai sosial, ahlak dan moral.

artikel sastra

Minimnya Eksistensi Pembelajaran Sastra di Sekolah-sekolah

Sastra merupakan karya tulis yang mengandung unsur seni, estetik dan keindahan. Memang untuk batasan-batasan sastra itu sendiri masih lebih bersifat relatif. Bahkan kemampuan atau pengetahuan sesorang akan bersastra itu sendiri terkadang masih belum dapat di pahami dengan jelas. Seperti yang kita yakini secara gelobal bahwa sastra itu meliputi puisi, cerpen, dongeng, pantun, hikayat dan lain-lain, sebenarnya sastra itu sangat luas, seperti yang telah saya ungkapkan pada awal kalimat bahwa sastra itu merupakan karya tulis yang mengandung unsur seni atau pun nilai estetika atau nilai keindahan.
Sekarang sastra mendapatkan tempat yang cenderung sangat minim dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolahan dibandingkan pembelajaran tentang kebahasaan. Padahal untuk pencapaian kompetensi hasil belajar siswa seperti pada SI (Standar Isi) ketercapaian kompetensi bahasa dan sastra harus seimbang. Akan tetapi pada aplikasinya justru sastra lebih dikesampingkan dibandingkan kemampuan bersastra. Beberapa penelitian yang terdahulu dalam studi kasus di sekolah-sekolah akan pembelajaran sastra. Seperti yang telah saya ungkapkan tadi bahwa hasil-hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pembelajaran sastra di sekolah-sekolah sangat minim. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa minimnya pembelajaran sastra disekolah-sekolah Pertama, Pada tenaga propesional dibidang sastra pada sekolah-sekolah tersebut cenderung minim, bahkan dapat dikatakan tenaga yang sebenarnya dibidangnya dirangkap dengan bidang lain. Dimaksudkan seperti tenaga pengajar guru bidang studi sejarah merangkap bidang studi bahasa sehingga untuk pembelajaran sastra sendiri karena tenaga pengajarnya bukan dari bidangnya mengakibatkan mis konsepsi dalam pembelajaran tersebut terutama dibidang sastra.
Kedua, minimnya fasilitas-fasilitas yang mendukung akan proses pembelajaran sastra itu sendiri, ambil contoh penyediaan buku-buku yang berkaitan dengan studi atau cakupan sastra itu sendiri sehingga proses pembelajaran sastra terksesan asing dan dikeduakan. Sungguh ironis dengan cakupan standar isi pada kurikulum tentang bahasa dan sastra itu sendiri seperti sudah disinggung di awal paragraf sebelum-sebelumnya.
Respon siswa sendiri terhadap sastra sangat baik akan tetapi pembelajaran sastra dan penyediaan fasilitas mengenai sastra yang sangat memperihatinkan. Pada dasarnya siswa pada masa-masa pubertas pertamanya mempunyai sifat yang selalu ingin tahu, rasa ingin tahunya sungguh besar, apalagi sesuatu yang menyangkut dirinya. sehingga sesuatu yang berhubungan dirinya sering menjadi target yang paling utama dalam keingin tahuannya.
Permaslahan-permsalahan itu pada dasarnya dapat dijawab oleh sastra, dalam arti lain seperti yang saya ungkapkan diawal-awal paragraf bahwa cakupan sastra itu sangat luas. Sesuatu yang bersifat karya tulis yang mengndung unsur-unsur estetik itu hanya di dapat pada definisi dan cakupan sastra itu sendiri. Semua buku-buku yang dikemas dengan suatu keindahan baik itu membahas tentang sesuatu hal atau masalah yang hangat sekarang dapat dikaji dengan cara sastra. Karena ketika membaca sastra memberikan suatu perbedaan yang disebabkan karena ada daya estetiknya.
Siswa cenderung senang dengan sesuatu yang mudah dan praktis, lebih-lebih ketika dalam membaca sebuh buku, walaupun didalam sebuah buku tersebut berisi tentang suatu solusi-solusi tentang maslah-maslahnya, sisawa terserbut cenderung untuk lebih menyerah dibandingkan membaca isi buku tersebut, karena buku tersebut gaya penulisanya yang terlalu teoritis dan tidak mudah untuk dipahami. Ketika buku yang sama dalam segi pembahasannya dan lebih dikaji atau diwrnai oleh sastra itu sendiri akan lebih menarik, mudah dan mudah dipahami. Karena dalam sastra itu sendiri aspek estetika lebih diprioritaskan.
Sekolah diharapkan untuk lebih peka terhaadap permasalahn-permsalahan yang kelihatan mudah atau sepele akan tetapi membawa daampak yang sangat serius bagi perkembngan dan masa depan anak-anak bangsa. Permasalahan-permasalahan tersebut yang belum terselesaikan diharapakn secepatnya mendaptkan solusinya. Kontinu dan berkesinambungan serta penmpatan sesuatu yang benar-benar tempatnya dan menyediakan fasilitas pendukung akan proses pembelajaran tersebut lebih-lebih pada pembelajaran sastra.

analisis cerita rakyat

SEJARAH AIR TERJUN PARANG IJO : ANALISIS PSIKOLOGIS

PENDAHULUAN

Objek wisata air terjun parang ijo terletak di desa suku kecamatan ngargoyoso kabupaten karanganyar. Objek wisata air terjun parang ijo yang merupakan tumpuan perekonomian masyarakat daerah sekitar objek wisata tersebut. Pengelolaan objek wisata tersebut dikelolah dan diorganisir dengan sistematis sampai kelengkapan fasilitas pendukung di objek wisata air terjun tersebut oleh masyarakat sekitar. Masyarakat di daerah tersebut sangat mendukung pengembangan objek wisata air terjun parang ijo.
Objek wisata ini diresmikan pada tanggal 10 Juni 2006 oleh bupati karanganyar. Perkembangan objek wisata ini dari tahun ketahun mengalami peningkatan hal ini dapat dibuktikan jumlah pengunjung yang telah mencapai 500 orang setiap minggunya. Daya tarik objek wisata ini selain pada objek air terjunnya adalah pada daya tarik sejarah nama dari parang Ijo itu sendiri.
Parang Ijo merupakan suatu nama yang diambil dari bahasa jawa yang berarti kata ”parang” atau tebing dan Ijo berarti berwarna ”hijau”. Air terjun parang ijo mempunyai asal –usul dari nama parang Ijo.
Pada masa pemerintahan dari tangan belanda dipihak jepang sekitar tahun 1942 di sebuah desa yang letaknya agak jauh dari pusat pemerintahan. Konon ada sebuah pohon tua yang sangat besar Dimana warnanya didominasi oleh warna hijau pohon ini dianggap keramat karena tidak bisa ditebang dan bentuknya berbeda dengan pohon yang lain.
Keberadaan pohon tersebut tidak berlangsung lama. Banjir besar yang melanda daerah tersebut ternyata mampu mematahkan pertahanan pohon keramat itu. Banjir besar tersebut terjadi karena meluapnya air sungai yang bermuara Kali Luak sehingga pengakumulasian air ini tidak mampu terbendung lagi. Akibatnya banjir besar oleh masyarakat sekitar disebut dengan Baru Kelinting. Tidak dapat dihindarkan banjir itu mampu menggoyahkan pertahanan pohon dan membawanya dengan derasnya arus. Namun karena daerahnya berbukit-bukit mengakibatkan pohon itu tetap berdiri tegak dari bawah hingga ke atas bukit, saat arus menggirngnya ke tempat ini. Pohon ini mendapatkan tempat baru untuk hidup secara kebetulan, posisinya terletak di antara tebing atau parang.
Walaupun pohon tersebut berubah posisi dari tempat awalnya tidak menyulitkan pohon tersebut untuk tumbuh dan berkembang sehingga dengan keberadaannya yang terletak di antara dataran parang semakin mempermudah aliran dari atas tebing menuju kelembah melalui batangnya. Aliran air yang terus menerus membuat pohon ini semakin hijau dan ditumbuhi lumut-lumut. Keanehan lainnya dari pohon ini adalah mengeluarkannya cairan yang berwarna merah seperti darah manusia.
Empat puluh tahun kemudian tepatnya 1982 banjir Baru Klinting kembali melanda daerah ini. Banjir ini ternyata mampu mengakhiri kisah pohon tua yang keramat ini. Pohon yang awalnya kokoh berdiri di antara parang yang menglang diterjang banjir bandang yang mendamparkannya entah dimana.
Hilangnya pohon itu menybapkan jalur air yang melalui batang pohon tua ini terbawa tanpa perantara membuat air terjun yang sekarang lebih dikenal denagn sebutan Air Terjun Parang Ijo yang berarti pohon yang berwarna hijau di antara dua tebing. Nama ini dikombinasikan dengan kata ”Parang” yang berarti ”tebing” dan ”Ijo” yang berarti berwarna hijau lumut yang menutupi sebagian besar permukaan pohon tersebut.
Akan tetapi antara asal usul cerita dengan kenyataannya atau kondisi sekarang objek wisata tidak begitu relevan. Sehingga ketika mengunjungi objek wisata Parang Ijo tidak menemui seperti apa yang terdapat pada sejarah dari objk wisata tersebut. Adapun pada analisis cerita rakyat ini fokus objek yang akan dibicarakan adalah Asal Usul Nama ”Air Terjun Parang Ijo” dengan menggunakan pendekatan psikologis.

PEMBAHASAN

A. Struktur Cerita

Sajarah terjadinya Air Terjun Parang Ijo

Pada masa pemerintahan dari tangan belanda dipihak jepang sekitar tahun 1942 di sebuah desa yang letaknya agak jauh dari pusat pemerintahan. Konon ada sebuah pohon tua yang sangat besar Dimana warnanya didominasi oleh warna hijau pohon ini dianggap keramat karena tidak bisa ditebang dan bentuknya berbeda dengan pohon yang lain.
Keberadaan pohon tersebut tidak berlangsung lama. Banjir besar yang melanda daerah tersebut ternyata mampu mematahkan pertahanan pohon keramat itu. Banjir besar tersebut terjadi karena meluapnya air sungai yang bermuara Kali Luak sehingga pengakumulasian air ini tidak mampu terbendung lagi. Akibatnya banjir besar oleh masyarakat sekitar disebut dengan Baru Kelinting. Tidak dapat dihindarkan banjir itu mampu menggoyahkan pertahanan pohon dan membawanya dengan derasnya arus. Namun karena daerahnya berbukit-bukit mengakibatkan pohon itu tetap berdiri tegak dari bawah hingga ke atas bukit, saat arus menggirngnya ke tempat ini. Pohon ini mendapatkan tempat baru untuk hidup secara kebetulan, posisinya terletak di antara tebing atau parang.
Walaupun pohon tersebut berubah posisi dari tempat awalnya tidak menyulitkan pohon tersebut untuk tumbuh dan berkembang sehingga dengan keberadaannya yang terletak di antara dataran parang semakin mempermudah aliran dari atas tebing menuju kelembah melalui batangnya. Aliran air yang terus menerus membuat pohon ini semakin hijau dan ditumbuhi lumut-lumut. Keanehan lainnya dari pohon ini adalah mengeluarkannya cairan yang berwarna merah seperti darah manusia.
Empat puluh tahun kemudian tepatnya 1982 banjir Baru Klinting kembali melanda daerah ini. Banjir ini ternyata mampu mengakhiri kisah pohon tua yang keramat ini. Pohon yang awalnya kokoh berdiri di antara parang yang menglang diterjang banjir bandang yang mendamparkannya entah dimana.
Hilangnya pohon itu menybapkan jalur air yang melalui batang pohon tua ini terbawa tanpa perantara membuat air terjun yang sekarang lebih dikenal denagn sebutan Air Terjun Parang Ijo yang berarti pohon yang berwarna hijau di antara dua tebing. Nama ini dikombinasikan dengan kata ”Parang” yang berarti ”tebing” dan ”Ijo” yang berarti berwarna hijau lumut yang menutupi sebagian besar permukaan pohon tersebut.

B. Analisis pendekatan psikologis
Objek kajian penelitian ini berupa ”sejarah Air Terjun Parang Ijo” menggunakan analisis pendekatan psikologi. Pendekatan psikologi merupakan sebuah landasan dasar dalam mengkaji unsur-unsur cerita dan pengaruhnya, dengan memadukanya dengan unsur psikologi. Adapun dalam penelitian ini yang menjadi fokus analisis adalah pengaruh psikologis masyarakat sekitar terhadap cerita.
Dari data yang kami peroleh bahwa sejarah nama ”Parang Ijo” itu sendiri memang telah mengakar dalam pikiran masyarakat dan menjadi suatu keyakinan yang tertanam di masyarakat daerah sekitar objek wisata tersebut. Keyakinan mereka akan peristiwa di masa lalu tentang sejarah terjdinya Air Terjun Parang Ijo membuat ke optimisan mereka dalam memajukan pengembangan objek wisata tersebut, akan tetapi sejauh pengamatan kami tidak sampai terlarut kedalam dampak yang negatif.
Keunikan nama parang Ijo tersebut memberikan ketertarikan wisatawan yang berdatangan untuk berwisata ke Air Terjun karang Ijo. Hal ini dapat di buktikan pada data pengunjung yang mencapai 500 pengunjung pada tiap minggunya.
Sejarah cerita air terjun tersebut menjadi sebuah Icon yang hingga kini menjadi moto hidup dalam objek wisata tersebut. Masyarakat menjadi sangat optimis akan keberhasilan dari objek wisata tersebut. Kemajemukan cara pandang masyarakat dalam menyikapi cerita sangat bervariatif walaupun hanya sebagian kecil.

C. Metode pengumpulan data
Objek dari analisis cerita rakyat ini adalah Asal usul nama Air Terjun Parang Ijo. Metode pengumpulan data dari analisis ini adalah metode Observasi, wawancara, Dokumentasi,

 Observasi
Mengamati objek yang diteliti adapun objek yang diteliti adalah Asal usul nama Air Terjun ‘’Parang Ijo’’
 Wawancara
Mewawancarai masyarakat sekitar objek wisata yang mengetahui asal usul nama Air Terjun Parang Ijo.
 Dokumentasi
Mengambil gambar objek yang di analisis berupa foto-foto Air Terjun Parang Ijo

D. Persepsi Masyarakat
Berbagai macam persepsi masyarakat tentang cerita asal usul terjadinya Air terjun Parang Ijo. Walaupun berbagai macam persepsi dari masyarakat sekitar Air Terjun pada dasarnya bersifat persepsi yang positif. Salah satunya bapak Sukarmo masyarkat di daerah sekitar objek wisata parang ijo dan berpropesi sebagai penjaga koprasi di objek wisata tersebut. Beliau berpendapat bahwa air terjun parang ijo memang sesuai denagn cerita yang ada yaitu sekitar tahun 1942 ada pohon yang unik dan khas. Beliau bercerita pohon itu hidup walaupun akarnya tidak menghujam ke tanah. Di samping itu apabila dibacok mengeluarkan darah seperti halnya darah manusia. Selang beberapa tahun kemudian ada banjir yang sangat besar yang mengakibatkan pohon tersebut hanyut dan sampai sekarang keberadaan pohon tersebut tidak diketahui. Menurut beliau bahwa batu—batu yang ada pada objek wisata karang ijo adalah batu alami dan airnya pun juga demikian.
Lain halnya dengan pak Sukirman yang merupakan masyarakat di daerah sekitar objek wisata. Beliau berpendapat bahwa parang itu sendiri pada dahulunya merupakan sebuah nama untuk wanita seperti halnya parang tritis dan parang-parang lainya.
E. Nilai terkandung dalam cerita
Cerita tersebut ternyata membawa dampak positif bagi masyarakat di daerah sekitar Air Terjun. Dampak positif berupa nilai-nilai pendidikan, agama, Sosial dan budaya, ekonomipun
 Sosial dan budaya
Aspek sosial dan budaya tersebut terlihat denagn adanya kerjas sama antar warga masyarakat di desa sukuh yaitu untuk bekerja sama dalam mengelolah objek wisata Air Terjun Parang Ijo secara bersama-sama sehingga antara masyarakat yang satu dengan yang lain terlihat berkelompok dalam mengelolah tempat pariwisata tersebut.
 Agama
Aspek agama dapat terlihat dari adanya cerita mengenai sebuah pohon yang memiliki keajaiban dan keunikan yang berada di dalam suatu daerah sehingga wanha di sekitar tempat tersebut merasa takut untuk mendekati. Denagn adanya peristiwa tersebut masyarakat sekitar lama kelamaan menjadi berani untuk mendekati tempat tersebut dan masyarakat di sekitar tempat wisata lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.
 Ekonomi
Cerita tersebut membawa dampak ekonomi bagi masyarakat di daerah sekitar. Cerita tersebut menjadi dasar daya tarik bagi pengunjung, sehingga dari cerita tersebut banyaknya wisatawan yang berkunjung ke objek wisata tersebut. Sehingga dari hasil kunjungan wisatawan tersebut menjadi konstribusi pemasukan kas warga. Objek wisata yang berupa Air Terjun Parang Ijo yang dikelolah dan diorganisir oleh masyarakat sekitar secara tidak langsung berimbas pada perekonomian masyarakat daerah sekitar Air Terjun tersebut.
 Pendidikan
Aspek pendidikan yang terkandung dalam cerita tersebut adalah adanya nilai-nilai pembelajaran tentang asal usul terjadinya Air terjun parang Ijo. Dan dapat dilihat dari pengorganisasian pengelolaan Objek Wisata Air terjun dari segi pengerluaran dan pemasukan keuangan. Dari situ masyarakat dapat belajar mengelolah tempat wisata di daerahnya sendiri. Cerita tersebut memberikan pembelajaran terhadap alam yang terjadi pada tahun-tahun yang sering di lewati banjir.

PENUTUP

Cerita rakyat tentang asal usul objek wisata air terjun parang ijo memberikan berbagai macam dampak positif dan negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Akan tetapi keberadaan air terjun parang Ijo tersebut sangat didukung baik oleh masyarakat sekitar.
Persepsi positif dan negatif akan cerita tersebut sanagt bervariatif contohnya pak sukirman beliau tidak sepenuhnya percaya akan cerita asal usul dari cerita parang ijo. Bahkan bapak sukirman memiliki cerita sendiri tentang objek wisata karang ijo tersebut. Dari apa yang kami amati bahwa cerita rakyat tidak sepenuhnya menjadi landasan sebagai asal-usul dari suatu objek bahkan itu sebenarnya hanya berupa dongeng-dongeng atau berupa cerita rakyat belaka.
Analisis pendekatan psikologis terhadap cerita itu membawa dampak positif bagi masyarakat di daerah sekitar objek. Keunikan nama dan kejelasan asal usul dari nama tersebut memberikan daya tarik yang tersendiri bagi pengunjung maupun masyarakat sekitar.

Sejarah Air Terjun Parang Ijo

Pada masa pemerintahan dari tangan belanda dipihak jepang sekitar tahun 1942 disebuah desa yang letaknya agak jauh dari pusat pemerintahan. Konon ada sebuah pohon tua yang sangat besar Diana warnanya didominasi oleh warna hijau pohon ini dianggap keramat karenatidak bisa ditebang dan bentuknya berbeda dengan pohon yang lain.
Keberadaan pohon tersebut tidak berlangsung lama. Banjir besar yang melanda daerah tersebut ternyata mampu mematahkan pertahanan pohon keramat itu. Banjir besar tersebut terjadi karena meluapnya air sungai yang bermuara Kali Luak sehingga pengakumulasian air ini tidak mampu terbendung lagi. Akibatnya banjir besar oleh masyarakat sekitar di sebut dengan Baru Kelinting. Tidak dapat dihindarkan banjir itu mampu menggoyahkan pertahanan pohon dan membawanya dengan derasnya arus. Namun karena daerahnya berbukit-bukit mengakibatkan pohon itutetap berdiri tegak dari bawah hingga keatas bukit, saat arus menggirngnya ketempat ini. Pohon ini mendapatkan tempat baru untuk hidup secara kebetulan, posisinya terletak di antara tebing atau parang.
Walaupun pohon tersebut berubah posisi dari tempat awalnya tidak menyulitkan pohon tersebut untuk tumbuh dan berkembang sehingga denagn keberadaannya yang terletak di antara dataran parang semakin mempermudah aliran dari atas tebing menuju kelembah melalui batangnya. Aliran air yang terus menerus membuat pohon ini semakin hijau dan ditumbuhi lumut-lumut. Keanehan lainnya dari pohon ini adalah mengeluarkannya cairan yang berwarna merah seperti darah manusia.
Empat puluh tahun kemudian tepatnya 1982 banjir Baru Klinting kembali melanda daerah ini. Banjir ini ternyata mampu mengakhiri kisah pohon tua yang keramat ini. Pohon yang awalnya kokoh berdiri di antara parang yang menglang diterjang banjir bandang yang mendamparkannya entah dimana.
Hilangnya pohon itu menybapkan jalur air yang melalui batang pohon tua kini terbawa tanpa perantara membuat air terjun yang sekarang lebih dikenal denagn sebutan Air Terjun Parang Ijo yang berarti pohon yang berwarna hijau diantara dua tebing. Nama ini dikombinasikan dengan kata ”Parang” yang berarti ”tebing” dan ”Ijo” yang berarti berwarna hijau lumut yang menutupi sebagian besar permukaan pohon tersebut.
PARANG IJO
P = PERMAI
A = ALAMI
R = RINDANG
A = AMAN
N = NYAMAN
G = GEMBIRA
I = INDAH
J = JERNIH
O = OPTIMIS

DATA –DATA PENDUKUNG
Informasi lainya;
 Diresmikan pada hari sabtu, 10 Juni 2006.
 tinggi air terjun +- 50 meter,
 pegawai 18 orang,
 jumlah pengunjung 500 orang / minggu,
 luas 2 h.

analisis pemerolehan bahasa remaja




Identifikasi Pemerolehan Bahasa Remaja pada Ari kurniawan:
Analisis Mikro linguistik: Sintaksis, fonologi dan fonetik, morfologi.
Analisis Makro linguistik: Psikolinguistik dan Sosiolinguistik


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG


Setiap makhluk hidup memerlukan bahasa, bahasa tersebut berfungsi sebagai suatu alat untuk menyampaikan sesuatu gagasan, ide yang akan ditransfer dan dipahami oleh mitra tuturnya sehingga diharapkan dengan bahasa dapat membuat suatu hubungan yang bersifat kedekatan emosional. Kedekatan emosional merupakan suatu ikatan yang terkontrol yang diperoleh dari para pengguna bahasa karena memiliki suatu pemikiran yang sama yang diperoleh lewat bahasa. Ketika para pengguna bahasa yang satu dengan yang lain tidak dapat memanfaatkan bahasa, sehingga bukan kedekatan emosional yang didapat melainkan munculnya missed communication, dalam artian pengguna bahasa tersebut belum dapat memanfaatkan bahasa sebagai media untuk menyatukan pemikiran-pemikiran antar mitratuturnya, sehiangga membuat kegagalan dalam berkomunikasi.
Remaja merupakan suatu penggolongan usia setelah anak-anak atau di mana pada masa ini, remaja bisa dikatagorikan sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju ke usia dewasa. Pada masa remaja pemerolehan bahasa cenderung diperoleh pada pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan. Semangat keinginan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan memperoleh sesuatu yang baru membuat pemerolehan bahasa pada remaja cenderung lebih besar dari pada pemerolehan bahasa pada orang dewasa artinya ketika seorang remaja dihadapkan pada lingkungan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya atau lingkungan baru, mereka cenderung mempunyai suatu keinginan atau berupaya untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan tersebut. Pemerolehan bahasa yang besar dimaksudkan karena remaja cenderung lebih mempunyai waktu yang lebih intensif dalam melakukan adaptasi di bandingkan orang dewasa. Sesuatu yang mendasar dari pemerolehan bahasa tersebut adalah pada tingkat potensi individu itu sendiri dalam beradaptasi, akan tetapi yang dimaksudkan pada penjelasan di atas adalah tingkat pengupayaan yang dilihat secara general dalam penggolongan usia terhadap pemerolehan bahasa.
’Pemerolehan bahasa’ yang diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh kanak-kanak mencapai sukses penguasaan yang lancar serta fasih terhadap ’bahasa ibu’ mereka atau yang sering dikenal dengan bahasa yang terbentuk dari lingkungan sekitar. ’Pemerolehan’ tersebut dapat dimaksudkan sebagai pengganti ’belajar’ karena belajar cenderung dipakai psikologi dalam pengertian khusus dari pada yang sering dipakai orang (Tarigan, Guntur; 1986: 248).
Pemerolehan bahasa seseorang khusunya remaja lebih diperoleh dari faktor lingkungan dan faktor diri. Adapun faktor lingkungan tersebut bisa di sekolahan, di rumah ataupun di luar lingkungan rumah dan sekolah. Sehingga dalam artian pemerolehan bahasa dapat diperoleh di mana saja. Faktor diri dimaksudkan adalah potensi yang dimiliki setiap individu dalam pemanfaatan untuk pemerolehan suatu bahasa atau lebih bersifat psikis mengenai keinginan (motifasi), intelegnsi kemampuan merekam kosakata dalam memeperoleh suatu bahasa.
Individu merupakan faktor utama dalam pemerolehan bahasa remaja dan diikuti minoritas faktor lingkungan. Lain halnya dengan permerolehan bahasa pada anak yang sangat bergantung pada peranan lingkungan dalam pembentukan diri dan pemerolehan bahasa. Remaja merupakan individu yang secara naluriah memiliki potensi dan kemapuan baik itu dalam segala hal, sehingga dalam hal ini peran diri sendiri sangat mempengaruhi pemerolehan bahasa pada remaja. Adapun pada penelitian ini yang menjadi objek fokus adalah pemerolehan bahasa remaja pada Ari kurniawan. Banyak hal yang membuat peneliti memilih Ari sebagai objek penelitian, yang salah satunya adalah mudahnya memperoleh data dari objek tersebut. Adapun kesulitan peneliti dalam memperoleh data dari objek tersebut adalah karena keterbatasan peneliti dalam memahami percakapan yang sedang berlangsung ketika objek menggunakan bahasa jawa krama sebagai alat untuk berkomunikasi, sehingga peneliti hanya memperoleh data berupa bahasa yang dipahami oleh peneliti yaitu bahasa indonesia dan beberapa bahasa jawa seperti ngoko dan krama walaupun hanya beberapa saja, akan tetapi peneliti berusaha untuk bertanya kepada narasumber yang dapat dipercaya untuk membantu dalam menerjemahkan bahasa jawa, baik itu ngoko dan krama.
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu diadakan penelitian dengan judul ”Identifikasi pemerolehan bahasa Remaja pada Ari kurniawan: Analisis Mikro linguistik: Sintaksis, Leksikon, morfologi. Analisis Makro linguistik: Psikolinguistik dan Sosiolinguistik,”

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi bahasa remaja dengan pendekatan mikro dan makro linguistik
2. Mendeskripsikan bahasa yang digunakan Ari dalam percakapan.

BAB II
PEMBAHASAN


Pemerolehan bahasa remaja secara umum dapat diperoleh dari mana saja, pada latar belakang di atas telah dijelaskan tentang faktor-faktor pemerolehan bahasa remaja. Pemerolehan bahasa remaja secara optimal dapat dipengaruhi oleh faktor diri, karena ditinjau dari pendekatan psikologis faktor diri mempunyai pengaruh terbesar dalam pemerolehan bahasa. Seperti halnya dalam kemampuan, kemauan (motivaasi) untuk berkomunikasi. Dari faktor diri di luar pisikis misalnya latar belakang lingkungan, pendidikan, status ekonomi, status sosial.

1. Pendekatan Mikro linguistik
Pendekatan mikro linguistik merupakan cabang linguistik yang membicarakan tentang cabang bahasa dari internalnya seperti morfologi, fonologi, lesikon, sintaksis. Pemerolehan bahasa pada penelitian ini akan dikaji berdasarkan pendekatan mikro linguistik.
• Morfologi
Morfologi merupakan anak cabang dari mikro linguistik yang cakupan pembahasannya tentang kata dan kelompok kata. Sehingga pada implementasi dari pemerolehan bahasa pada ari kurniawan diantaranya terdapat kesalahan berbahasa dari beberapa kata yang semestinya diucapkan penuh akan tetapi sebaliknya diucapkan dengan separuh dari bagian kata saja, namun dalam konteks percakapan tersebut baik penutur dan mitra tutur memahami konteks pembicaraan dalam percakapan.
Misalnya pada data percakapan 1 tuturan kalimat 1:
1. Gimana kabarnya pak?
Kata ”Gimana” pada kalimat di atas merupakan sebuah makna yang menunjukan kata ”bagiamana” yaitu kata tersebut merupakan kata yang mewakili dalam kalimat pertanyaan. Akan tetapi ari menggunakan kata gimana dalam percakapan tersebut untuk mengganti kata bagaimana, namun dalam konteks pembicaraannya, mitratuturnya mengerti apa yang dimaksud penutur.

Kalimat lanjutan dari kaliamt 1 dalam percakapan 1

2. Alhamdullilah baik, Kalau kamu?

Pada kalimat di atas atau kalimat 2 merupakan kalimat lanjutan dari kalimat 1 yang menandakan bahwa mitratuturnya mengerti maksud dari penutur, sehingga pembicaraan tersebut tidak terdapat missed communication atau komunikasi terputus dari pihak penutur dan mitra tutur.

3. Nggak, ne lagi tungguin temen, soalnya kemaren sudah janjian

Kalimat 3 merupakan kalimat yang diambil dari data percakapan 2. Pada kalimat di atas ada kata yang mengalami penyingkatan yaitu pada kata ”ne”. Kata ”ne” dimaksudkan oleh penutur yang mempunyai arti sama dengan kata ini. Sejauh pengamatan saya antara penutur dan mitra tutur dalam percakapan tersebut mengerti terhadap konteks yang dibicarakan.

• Sintaksis
Sintaksis merupakan anak cabang dari mikro linguistik yang pembahasannya lebih pada klausa dan kalimat. Adapun pada implementasinya dalam penelitian pemerolehan bahasa Ari lebih difokuskan pada bentuk fisik kalimat atau unsur segmental yang berupa bentuk kalimat imperatif, deklaratif dan introgatif. Dari pemerolehan data percakapan 1 dan 2 dapat dilihat bahwa pada setiap tuturan, penutur menggunakan kalimat introgatif atau kalimat pertanyaan dan kalimat deklaratif atau kalimat berita. Dari data yang diperoleh tidak ditemukannya kalimat imperatif dalam percakapan 1 dan 2 artinya ketika percakpan berlangsung penutur tidak menggunakan kaliamat imperatif. Bentuk kalimat introgatif digunakan agar percakapan tersebut menjadi aktif. Di bawah ini merupakan bentuk kalimat introgatif yang digunakan ari dalam percakapan dengan mitra tuturnya.
Tuturan pada percakapan 1

4. Gimana kabarnya pak?

Tuturan pada percakapan 2

5. Lagi santai mas?

Di atas merupakan bentuk kalimat introgatif, adapun di bawah ini merupakan bentuk kalimat deklaratif, kalimat deklaratif pada kalimat di bawah ini merupakan jawaban dari pertanyan yang disampaikan oleh mitratutur dari Ari yang menggunakan kailamt introgatif misalnya pada kalimat 7 - 13, akan tetapi ada kalimat yang bukan jawaban dari hasil pertanyaan mitra tutur misalnya pada kalimat 6.
6. Assalamualaikum,..

7. Alhamdullilah baik juga pak

8. Saya kuliyah di UMS pak.

9. UM pak, UMS.

10. Jurusan keguruan.

11. Bahasa Indonesia pak.

12. Mau kekebak keramat.

13. Nggak, ne lagi tungguin temen, soalnya kemaren sudah janjian.

• Fonologi dan Fonetik
Fonologi merupakan cabang mikro linguistik yang ruang lingkupnya membahas tentang bunyi bahasa ditinjau dari fungsinya. Dan fonetik adalah cabang lngistik yang ruang lingkupnya membahas tentang bunyi bahasa yang lebih terfokus pada sifat-sifat akusitknya atau pelafalanya ( Verhaar: 2001: 10). Adapun implementasinya pada penelitian ini adalah bunyi bahasa yang dikeluarkan oleh ari dalam percakapan. Di bawah ini merupakan penggalan dari percakapan ari dengan mitratuturnya pada percakapan 1. Pada waktu O2 bertanya pada O1, yang dimana O1 adalah ari dan O2 adalah mitratuturnya. Dimana kuliyahnya? O1 pun menjawab ”Saya kuliyah di UMS” akan tetapi karena fonem [M] pada kata
[U] [M] [S] lebih terdengar seperti fonem [N] pada kata [U] [N] [S]. Padahal pada kata /M/ dan /N/ satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda seperti pada kata
/U/ /M/ /S/
/U/ /N/ /S/
Sehingga pada tuturan terakhir pada kutipan percakapan 1, O1 lebih menekankan fonem [M] ke O2 agar tidak terjadi missed communication atau kegagalan dalam memahami tuturan dalam konteks percakapan tersebut.

Kutipan percakapan 1
O2: oOO ya,.. sekarang kamu kuliyah dimana?
O1: Saya kuliyah di UMS pak.
O2: UNS apa UMS?
O1:UM pak, UMS.

2. Pendekatan Makro linguistik
Pendekatan maikro linguistik merupakan cabang linguistik yang membicarakan tentang cabang bahasa dari eksternalnya seperti sosiolinguistik, psikolinguistik. Pemerolehan bahasa pada penelitian ini akan dikaji berdasarkan pendekatan makro linguistik.

• Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan cabang makro lingistik yang ruang lingkupnya mengkaji bahasa dengan masyarakat, khususnya penutur bahasa. Sosiolinguistik dalam konsepnya mempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi kebahasaanya dan dengan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya ( Kunjana: 2001: 13). Berdasarkan pengertiannya, penelitian ini lebih mengkaji masalah bahasa dengan sosiologi untuk kemasyarakatan. Pengamatan saya tentang pemerolehan bahasa pada Ari kurniawan lebih didominasi penggunaan bahasa jawa dalam percakapannya karena dilihat dari konteks tempat tinggalnya yang masyarakatnya adalah suku jawa, walaupun demikian Ari dalam hal ini lebih mencoba untuk bersifat komunikatif dalam berbahasa, maksudnya Ari lebih dapat menyesuaikan konteks tuturan dalam percakapan, kepada siapa dan kapan penggunaan bahasa yang layak digunakan ketika dia bertutur. Seperti pada kutipan percakapan di bawah ini. Pada kutipan percakapan 2, ari yang merupakan O2 dapat menyesuaikan diri dalam berbicara, O1 yang merupakan mitra tutur, mengawali pembicaraan dengan bahasa jawa ngoko, sehingga secara refleks O2 pun menjawab tuturannya seperti bahasa O1. Pada kutipan percakapan 2 mengguanakan konteks bahasa jawa ngoko lain halnya dengan kutipan percakapan 3 dan 4 yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa krama, sehingga ketika ari dihadapkan pada konteks pembicaraan yang dituntut untuk berbicara dengan menggunakan bahasa jawa krama secara refleks ari menggunakan bahasa jawa krama sebagai bahasa tuturannya sebaliknya ketika dia dihadapkan pada koteks bahasa Indonesia secara refleks ari menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa tuturannya.

Kutipan percakapan 2
O1: Ri kowe wes mangan durung? (Ri kamu sudah makan belum?)
O2: wes (Sudah)
O1: Ki arep mangan neh ora? (Ini mau makan lagi tidak?)
O2: Aku ngancani kowe wae (Aku nemenin kamu saja)

Kutipan percakapan 3
O1: Assalamualaikum,..
O2: Walaikumsalam,..
O1: Gimana kabarnya pak?
O2: Alhamdullilah baik, Kalau kamu?

Kutipan percakapan 4
O1: Brem e pinten bu? (Bremnya berapa bu?)
O2: Engkang ageng gangsal ewu, engkang alit tigang ewu (kalau yang besar 5000 kalau yang kecil 3000)
O1: Engkang ageng tigang ewu diengge rayi kulo (Kalau yang besar 3000 untuk saudara saya)
O2: Dereng angsal (Belum dapat)

• Psikolinguistik
Psikolinguistik merupakan cabang makro linguistik yang ruang lingkupnya membahas tentang bahasa yang ditinjau dari segi psikologi. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya tentang faktor-faktor pemerolehan bahasa remaja pada ari kurniawan. Berbagai macam faktor yang dapat mendukung proses pemerolehan bahasa yang di antarnya merupakan faktor diri dan diikuti dengan faktor lingkungan. Faktor diri sangat memperngaruhi pemerolehan bahasa pada remaja karena faktor diri merupakan cakupan dari kemampuan dan kemauan dalam berkomunikasi. Ditinjau dari faktor diri, Ari memiliki kemauan yang sangat kuat dalam berkomunikasi sehingga secara eksplisit kemampuan dalam berkomunikasinya setara dengan kemauannya. Ditinjau dari faktor lingkungan yang sangat kondusif dalam pemerolehan bahasa ari sehingga ketika berkomunikasi dengan mitratuturnya Ari secara refleks dapat menyesuaikan tuturan tersebut.

SIMPULAN


Pemerolehan bahasa remaja yang berfokus pada bahasa Ari kurniawan yang ditinjau dari Analisis Mikro linguistik meliputi morfologi, fonologi dan fonetik, sintaksis dan Analisis Makro linguistik meliputi psikolinguistik dan sosiolinguistik. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa pada remaja atau pemerolehan bahasa pada ari kurniawan antara lain adalah faktor diri dan faktor lingkungan. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi pemerolehan bahasa pada Ari kurniawan.


DAFTAR PUSTAKA


• Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, kode dan alih kode. Yogyakarta: pustaka pelajar
• Soenjono, Unika. 2000. ECHA Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
• Tarigan, Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
• Verhaar. 2001. Asas-asas linguistik umum. Yogyakarta: Gajah Mada University press.