Sabtu, 28 Maret 2009

resuma buku metode penelitian sastra

resuma buku Swardi Endraswara yang berjudul metodologi penelitian sastra
DAFTAR ISI

PROBLEM PENELITIAN SASTRA
A. Ketimpangan Penelitian Sastra
B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra
C. Kerancuan Istilah Penelitian Sastra
D. Persoalan Metode, Teknik, dan Pendekatan

MANAJEMEN SASTRA
A. Peranan Penelitian Sastra
B. Penelitian Sastra Yang Kreatif
C. Kemitraan Penelitian Sastra
D. Diseminasi Penelitian Sastra

EPISTEMOLOGI PANELITIAN SASTRA
A. Seluk beluk Epistemologi
B. Penelitian sastra Sebagai Ilmu
C. Antara Subyektivitas dan Obyektivitas
D. Positivisme dan Konstruk Penelitian Sastra

ALIRAN PENELITIAN
A. Ciri Aliran Penelitian Klasik
B. Penelitian Beraliran Ekspresivisme
1. Munculnya ekspresivisme
2. Kritik Ekpresivisme
3. Aspek yang diungkap
C. Penelitian Beraliran Romantisme
D. Penelitian beraliran Simbolisme dan Mistisisme

MODEL BARU PENELITIAN SASTRA
A. Grounded Research
B. Kajian Fenomenologi Sastra
1. Titik Tolak fenomenologi Sastra
2. Ruang Lingkup Pembahasan
C. Kajian Hermeneutik Sastra
1. Pentingnya Hermeneutik
2. Langkah Kerja dan Aspek Kajian

PENELITIAN FORMALITAS DAN STRUKTURALISME
MURNI
A. Prinsip Strukturalisme
B. Kelebihan Dan Kelemahan Strukturalisme
C. Langkah Kerja Strukturalisme

PENGEMBANGAN PENELITIAN STRUKTURAL SASTRA
1. Strukturalisme Genetik
2. Strukturalisme Dinamik
3. Strukturalisme Semiotik

PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA
A. Sosiologi Sastra
1. Rasionalisasi Sosiologi Sastra
2. Prespektif Sosiologi Sastra
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1. Fungsi Sosial Sastra
2. Produksi dan Pemasaran Sastra

PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA
A. Landasan Pijak Psikologi Sastra
B. Pendekatan Psikologi Sastra
1. Beberapa Kemungkinan Kajian
2. Kajian Estetika Eksperimental
C. Psikoanalisa
1. Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa
2. Alam Bawah Sadar
D. Langkah dan Proses Analisis

PENELITIAN ANTROPOLOGI SASTRA
A. Ruang Lingkup Antropologi Sastra
B. Fokus dan Proses Analisis Antropologi Sastra
C. Analisis Mitos Model Levi-Strauss
1. Keunikan Mitos Sebagai Bahan Kajian
2. Sistem Oposisi
3. Langkah Analisis

PENELITIAN PRAGMATIK DAN RESEPSI SASTRA
A. Antara Penelitian Pragmatik dan Resepsi
B. Dasar Penelitian Sastra
C. Aspek Penelitian Resepsi Sastra
D. Analisis Resepsi sastra
1. Pendekatan Yang Digunakan
2. Horison Pembaca Dan Kategori Pembaca

PENELITIAN SASTRA BANDINGAN
A. Konsep Sastra Bandingan
1. Hakikat Kajian Sastra Bandingan
2. Ilmu Sastra Bandingan
B. Intertekstualitas dan Sastra Bandingan
1. Orisinalitas Tes
2. Pokok Kajian Interteks
C. Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan Sastra Dunia
D. Ruang Lingkup Sastra Bandingan
E. Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan
F. Metode Sastra Bandingan
DAFTAR PUSTAKA

PROBLEMA PENELITIAN SASTRA

A. Ketimpangan Penelitian Sastra
Penelitian sastra sampai saat ini memang cenderung masih berat sebelah. Maksudnya di beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi sastra orientasi penelitian masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya, hasil penelitian sastra cenderung bersifat deskriptif belaka. Di beberapa sentral penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal-hal teoritik sastra. Yakni, sebuah wilayah penelitian sastra untuk sastra. Orientasi semacam ini sering dianggap kurang lengkap, karena karya sastra sebenarnya merupakan bahan komunikasi antara pengarang dengan pembaca.
Kepincangan penelitian sastra yang terasa sampai saat ini adalah masih jarang peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen. Padahal, penelitian yang satu ini sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini terabaikan. Pemakaian metode ini sekurang-kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca sastra, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka pengembangan sastra ke depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian sastra akan semakin kurang bermakna.

B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra
Banyak pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong “ringan” kadar keilmiahanya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di berbagai tempat, yang ternyata, tidak atau belum dan kurang memiliki bobot karakteristik penelitian ilmiah. Ini menyebabkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan dari komentar sastra dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar dibedakan dari timbangan buku atau karya yang masih ringan bobotnya.
Minimnya teori penelitian sastra, sering berakibat “comot sana-sini” dan memungut teori asing yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang-kadang kurang relevan dengan eksistensi sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi dengan “teori dalam negeri” yang lebih membumi. Akibatnya, ada “pemaksaan” teori sastra asing yang kurang siap untuk memasuki sastra di Indonesia. Meskipun mengambil teori asing itu sah-sah saja dan tak haram, namun tanpa kecerdasan si pemakai hanya akan “mengotori” penelitian sastra kita.

C. Kerancuan Istilah Penelitian Sastra
Penelitian sastra sering disejajarkan dengan kajian, telaah, studi dan kritik akademis. Hanya saja yang sedikit berbeda adalah kritik sastra. Sedangkan kajian, telaah dan studi kurang lebih memiliki tujuan yang sama yaitu memahami karya sastra. Beberapa istilah tersebut selalu berusaha mendalami karya sastra menggunakan paradigma pemikiran tertentu.
Istilah-istilah di atas akan dilalui melalui “pintu masuk” yang dinamakan memahami sastra. Membaca sastra di berbagai tingkat, ruang, umur, akan berbeda satu sama lain. Karenanya, membaca sastra di Perguruan Tinggi otomatis akan memiliki tekanan yang berbeda dengan membaca sastra di sekolah sebelumnya. Tingkat kecermatan membaca sastra (prosa, puisi, dan drama) di Perguruan Tinggi telah ke arah pemahaman sebagai studi (kritik dan penelitian), sedangkan di sekolah bawahnya lebih cenderung ke apresiasi biasa untuk kenikmatan.

D. Persoalan Metode, Teknik, dan Pendekatan
Karya sastra adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fngsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karena, karya sastra memang syarat dengan imajinasi. Itulah sebabnya, peneliti sastra memiliki tugas untuk mengungkap kekaburan itu menjadi jelas. Peneliti sastra akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan menafsirkan sesuai paradigma dan atau teori yang digunakan.
Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila peneliti memulai kerjanya atas dasar masalah. Tanpa masalah yang jelas dari karya sastra yang dihadapi tentu kerja penelitian juga akan menjadi kabur. Manakala penelitian kabur dan karya sastra itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan peneliti sastra untuk mengangkat sebuah persoalan menjadi penting.
Pendekatan penelitian ada bermacam-macam, tergantung sisi pandang peneliti. Semakin rinci jenis pendekatan yang dipilih, tentu penelitian akan semakin sempit dan detail. Tentang nama-nama pendekatan itupun masing-masing ahli tampaknya bebas memberikan pendapat. Masing-masing pendekatan juga memiliki arah dan sasaran penelitian yang berbeda-beda. Secara garis besar, Tanaka (1976:9) mengenalkan dua pendekatan yaitu : (1) mikro sastra dan karya sastra dapat berdiri sendiri tanpa bantuan aspek lain disekitarnya. Sebaliknya, makro sastra adalah pemahaman sastra dengan bantuan unsur lain di luar sastra. Dua tawaran pendekatan tyersebut sebenarnya sejajar dengan pendekatan Wellek dan Warren (1989), yaitu pendekatan intrisik dan ekstrisik. Pendekatan intrisik adalah penelitian sastra yang bersumber pada teks sastra itu sendiri secara otonom. Sedangkan pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur luar karya sastra. Yakni pengkajian konteks karya sastra diluar teks.

MANAJEMEN SASTRA

A. Peranan Penelitian Sastra
Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehiduypan manusia, di samping juga berpenrgaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangn sastra itu sendiri (Tutoli, 1990:902). Peranan semacam ini nakan mencapi optimal apabila penelitian sastra tersebut dilakukan sunghguh-sungguh. Pencapaian sastra yang sekedar asl-asalan, hanya akan melahirkan sampah saja, dan mungkin justru merongrong eksistensi sastra itu sendiri.
Lebih khusus lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra adalah nuntuk memahami makna karya sastra sedalam-dalamnya (Pradopo, 1990:942). Berarti penelitian sastra dapat berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu sendiri. Kepentingan di luar sastra, antara lain, jika penelitian tersebut berhubungan dengan aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, filsafat, moral, dan sebagaqinya. Sedangkan kepentingan bagi sastra adalah untuk meningkatkan kualitas cipta sastra.
Peranan penelitian sastra bagi aspek di luar sastra dipengasruhi oleh kandungan sastra sebagai dokumen zaman. Di dalamnya, karya sastra akan menjadi saksi “sejarah” yang dapat mengembangkan ilmu lain begitu juga sebaliknya. Peranan semacam ini boleh dikatakan sebagai aspek pragmatika penelitian sastra. Hal ini akan membuka kerjasama yang baik antar disiplin ilmu, antara sastra dengan bidang lain. Lebih jauh lagi, penelitian sastra juga akan membantu penmgembangan teori sastra, penulisan sejarah sastra, dan meperluas apresiasi pembaca.

B. Penelitian Sastra Yang Kreatif
Penelitin sastra, akan mengikuti sistem berpikir ilmiah, menggunakan metode, teori, mlogis, analitis dan kreatif. Syarat kreatif ini, merupakan upaya interpretasi dan evaluasi teks sastra. Jika penelitian sastra masih sebatas kajian unsur-unsur belum dapat dikatakan kreatif, karena kerja semacam itu belum secara suntuk menggunakan intuisi dan wawasan yang tajam.
Kemampuan penelitian sastra yang kreatif, cukup penting karena karya sastra sendiri sebuah fenomena kreatif (Atmazakli, 1993:114-115). Sebagai karya kreatif, tentu perlu ditanggapi secara kreatif pula. Penelitian sastra yang kreatif juga akan meninggalkan kejenuhan. Jika penelitian sastra hanya statis, mungkin sekali akan membosankan bagi peneliti dan pembaca hasil penelitian. Penelitian sastra yang tak kreatif, hanya kemungkinan akan melahirkan potongan-potongan dan komentar teks sastra.

C. Kemitraan Penelitian Sastra
Selama ini, diakui atau tidak, kemitraan penelitian sastra masih sangat lemah. Kemitraan antar lembaga penelitin dan individu masih sangat “tertutup” atau terbatas. Jika ada kemitraan, kemungkinan masih dalam komunitas kecil (intern) saja. Padahal sebenarnya penelitian sastra sangat terbuka kesempatan kerjasama dan interdisipliner, sehingga akan dihasilkan karya penelitian yang handal.
Kemitraan penelitian dalam lingkup kecil, biasanya lebih bersifat personal atau antar peneliti saja. Di antara peneliti dari dua atau lebih lembaga yang berbeda, yang ikhlas memang seringkali tukar-menukar hasil penelitian. Dengan cara barter hasil penelitian ini, diharapkan akan memberi wawasan baru penelitian sastra. Hal ini penting, kalau dilakukan secara rutin. Apalagi, kalau kemitraan personal itu terjadi dalam skrup wilayah jangkuan yang luas. Misalkan antar teman peneliti di luar propinsi atau kota, dan bahkan lebih hebat lagi antar negara. Paling tidak setiap peneliti akan sedikit tahu peerkembangan penelitian pada wilayah lain.

D. Diseminasi Penelitian Sastra
Tanpa diseminasi, hasil penelitian akan sia-sia. Penelitian sastra hanya akan tertumpuk di rak atau meja. Artinya, penelitian tersebut belum atau tidak memberikan sumbangan berharga bagi pertumbuhan sastra. Padahal dari aspek kuantitas, penelitian sastra di Indonesia jelas cukup melimpah. Di berbagai perguruan tinggi yang membuka jurusan sastra, telah menumpuk skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah penelitian sastra. Sayangnya, karena tak dikelola secara optimal, penyebaran karya penelitian tersebut ke berbagai wilayah yang mungkin ingin membaca, kurang terpercaya.
Kalau penelitian sendiri atau lembaga yang bersangkutan akan mengirimkan hasil penelitian ke berbagai instansi, masalahnya terletak pada keterbatasan dana. Hal ini jelas memerlukan perhatian para pemerhati sastra. Kalau skripsi dan tesis yang berkualitas dan menarik, mungkin akan sedikit menolong diseminasi penelitian sastra. Namun perlu diingat, penerbitan buku jelas mengutamakan tema-tema yang marketable, bukan aspek keilmiahan semata. Padahal hasil penelitian sastra kadang-kadang ada yang sangat teknis, memuat istilah-istilah kering, dan jargon-jargon penelitian yang mungkin kurang menarik bagi penerbit. Karenanya, hal ini membutuhkan kelihaian peneliti untuk menyiasati agar mampu menyajikan hasil penelitian ke dalam bentuk buku-buku yang enak dibaca.

EPISTEMOLOGI PANELITIAN SASTRA

A. Seluk beluk Epistemologi
Epistemologi bersal dari bahasa Yunani, episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya ilmu. Epistomologi adalah dasar-dasar filosofi ilmu pengetahuan. Menurut Foucault (Kurniawan, 2001:36-37) Episteme adalah sistem apriori historis tertentu dalam suatu zaman yang tidak disadari oleh orang-orang pada zxaman itu, tetapi secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan, dan pembicaraan mereka. Episteme sebenarnya merupakan sekumpulan relasi yang menyatukan, pada periode tertentu, praktek-praktek diskursif yang memberi kemunculan bentuk-bentuk epistemologi, ilmu-ilmu dan kemungkinan sistem-siste yang diformulasikan, suatu cara yang setiap formulasi-formulasi diskursif ini transisi-transisi ke pengepistemologian, keilmiahan, dan formula disituasikan dan dioperasikan.
Dari pendapat demikian, epistomologi sesungguhnya merupakan system pengetahuan yang tertata, teratur dan logis. Epistomologi adalah ilmu tentang metodologi dan dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasaannya. Dari sini akan diperoleh pemahaman epistomolog sastra berarti juga hal ihwal yang menyangkut aspek hakikat metodologis penelitian sastra. Aspek ini mestinya mampu mengemukakan hal-hal mana yang dapat dikategorikan sastra dan non sastra, mana yang menjadi obyek penelitian dan mana yang bukan, serta bagaimana kajian yang lebih sistematis.

B. Penelitian sastra Sebagai Ilmu
Ada sebuah artikel kecil yang mempertanyakan keberadaan penelitian sastra, yaitu “ dapatkah karya sastra diteliti ?. Pertanyaan yang sebenarnya tidak harus dijawab dengan kusir ini, sebenarnya mengarahkan agar peneliti sastra perlu bersikap hati-hati. Peneliti yang berhadapan dengan sastra, berarti akan terkait dengan sejumlah fakta yang “luar biasa” dan unik. Artinya di dalam karya sastra akan mencerminkan berbagai fakta yang kemungkinan membutuhkan kecermatan dalam penelitian.
Sastra, pada dasarnya akan mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya” melainkan sebuah fakta mental pencipta. Pencipta sastra telah mengolah halus fakta obyektif menggunakan daya imajinasi, sehingga tercipta fakta mental imajinatif. Dari sini jika peneliti hendak mengungkap fakta tersebut tentu memerlukan kejelian. Tantangannya tak lain, penliti harus tepat dalam menerapkan metode penelitian sastra. Jika tidak, kemungkinan besar akan menghasilkan penelitian yang bisa data.

C. Antara Subyektivitas dan Obyektivitas
Peneliti sastra kadang-kadang dianggap latah dan sisa-sia. Maksudnya, peranan penelitian yang langsung dapat dipetik darinya, tetap diragukan oleh banyak pihak. Karena, ada berbagai hal yang tetap dianggap misteri dalam konteks penelitian tersebut. Setidaknya, dari sisi keilmiahan penelitian sastra sering dianggap rendah. Oleh karena, karya sastra sebagai fenomena imajinatif yang sulit dideteksi dan diukur validitasnya. Itulah sebabnya kejanggalan dalam penelitian sastra selalu muncul.
Jik penelitian sastra tadi benar-benar telah dilakukan, seringkali juga dianggap terlalu akademis. Bahkan seringkali ada perlakuan”mati” terhadap karya sastra oleh si peneliti. Maksudnya peneliti sekedar bertindak seperti seorang dokter bedah mayat yang ada di rumah sakit. Akibatrnya, sisi-sisi kemanusiaan yang lekat dalam karya sastra sulit tertangkap. Jika yang terakhir ini pun sulit terhindarkan. Akhirnya, ilmuwan dan peneliti sastra selalu menjadi hamba yang tak pernah sampai dalam memahami karya sastra.

D. Positivisme dan Konstruk Penelitian Sastra
Positivisme adalah paham filosofi yang mendasari peneliti melakukan kajian. Mereka meyakini bahwa karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarkat. Kaum positivistic beranggapan bahwa : (a) ada hubungan kasualitas antara kehidupan dengan karya seorang pengarang, (b) sesuatu dapat diterangkan apabila sebabnya dapat dilacak kembali(orientasi sejarah), (c) sastra dapat diterangkan secara tuntas dengan menelusuri kembali sejarah terjadinya, misalnya fakta hidup pengarang, kejadian geografik dan historis.
Dari tiga ciri tersebut, tampak bahwa kaum positivistic lebih mengedepankan regularitas penelitian. Fenomenba sastra dengan sendirinya dianggap memiliki regularitas seperti halnya ilmu alam. Kepastian makna menjadi cirri paham ini, maka mereka mempercayai bahwa setiap sastra dianggap memiliki nilai didik yang positif. Karya sastra akan menyampaikan tujuan tertentu yang mengikuti hubungan kausal. Hal ini berarti bahwa prinsip keajegan selalu dipegang oleh paham positivistic.

ALIRAN PENELITIAN

A. Ciri Aliran Penelitian Klasik
Aliran penelitian sastra adalah sebuah kecenderungan yang tampil pada suatu zaman. Setiap era kadang-kaddang memiliki tedensi yang berbeda-beda, sehgingga melahgirkan aliran tertentu pula. Berbagai aliran sastra memang cukup banyak jumlahnya. Setiap aliran sastra, disadari atrau tidak juga telah mewarnaai lahirnya berbagai model atau pendekatan penelitian sastra. Oleh karena, setiap peneliti kadang-kadang terbawa arus dan secara sadar mengikuti aliran tersebut.
Aliran yang tergolong klasik dan modern juga seringkali mewarnai arah penelitian sastra. Seorang peneliti yang dihadapkan pada suatru aliran, secara otomatis akan mengkuti aliran tersebut dalam penelitiannya. Karenanya, seorang penelitri lalu menciptakan sisi pandang tertentu dalam pemahaman karya sastra. Cara pandang inilah yang kelak sering dinamakan pendekatan.
Pendekatan klasik penelitian sastra, pada awanya berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Namun penelitian klasik selanjutnya tidak selalu demikian. Pelitian sastra yang selalu mengandalkan logika, akal, dan menekankan bahwa karya sastra harus memenuhi fungsinya, termasuk penelitian klasik. Penelitian klasik, yang sering dinamakan pendekatan tradisional, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(1). Hasil penelitian sastra harus sejalan dengan tujuan yang disampaikan penulisnya.
(2). Penelitian sastra mmenggunakan pendekatan klasik biasanya menekankan pada ajaran moral karya sastra.

B. Penelitian Beraliran Ekspresivisme
1. Munculnya ekspresivisme
Penelitian ekspresivisme sastra adalah model penelitian yang jarang dilakukan oleh peneliti sastra. Penelitian yang berupa kajian semi-psikologis ini mungkin kurang menarik dan atau dipandang kurang menguntungkan bagi penelitinya. Mungkin sekjali, pengarangnya telah tiada, atau jauh dari pembaca. Karenanya jika penelitian ekspresivisme sekadar bersumber pada teks sering dianggap kurang lengkap.
Penelitian ekspresivisme lebih memandang karya sastra sebagai eskpresi dunia batin pengarangnya. Karya diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, pikiran, kehendak, dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja, pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin itu akan menjadi pendorong kuat bagi lahirnya karya sastra. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinasi yang disintesiskan dalam sebuah karya sastra.

2. Kritik Ekpresivisme
Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra. Penelitian ini dianggao kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda subjektivita pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi teringat seratus persen tentang penciptaan.
Dari persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik memanipulasi alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan pencipta pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.

3. Aspek yang diungkap
Penelitian ekspresivisme sebenarnya tidak terlalu sulit asalkan penulis masih hidup dan tinggal tidak terlalu jauh jaraknya dengan peneliti. Karenanya, jaringan komunikasi peneliti dengan penulis perlu ditekankan agar proses penelitian berjalan lancar. Berbagai hal yang seharusnya diungkap dalam penelitian ekspresivisme adalah :
(1). Memahami lebih mendalam bahwa pengarang adalah orang yang cerdas dan cerdik bermain estetika.
(2). Bagaimana penguasaan bahasa sastrawan sehingga mampu memikat pembaca.
(3). Seberapa jauh pengarang memiliki kepekaan terhadap persoalan kehidupan, baik yang menyangkut dunia mungkin maupun dunia lain.

C. Penelitian Beraliran Romantisme.
Penelitian sastra aliran romantisme selalu berprinsip bahwa karya sastra merupakan cermin kehidupan realitik. Karya sastra adalah kisah kehidupan manusia yang penuh liku-liku. Pengungkapan realitas kehidupan tersebut menggunakan bahasa yang indah, sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi fokus penting dalam kajian romantisme. Misalkan, gambaran gadis cantik atau jejaka tampan, dilukiskan sesempurna mungkin. Pelukisan itu seringkali menggiurkan pembaca.
Penelitian romantisme biasanya terfokus pada karya-karya yang melukiskan kehidupan seksual secara detail. Lukisan kehidupan seks yang penuh birahi ini, justru menarik perhatian. Oleh karena itu peneliti telah mengasumsikan bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya yang mampu melukiskan kehidupan sedetail mungkin.

D. Penelitian beraliran Simbolisme dan Mistisisme
Aliran simbolik biasanya berupa karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan menggunakan simbol tertentu. Simbol-simbol itu diabstrasikan agar pembaca semakin tertarik dan penasaran. Simbol yang biasa digunakan adalah benda-benda dan mahkluk di luar manusia. Pemakaian tokoh-tokoh binatang atau tumbuhan yang dapat berbicara seperti manusia, adalah contoh aliran ini.
Melalui aliran simbolik itu, lalu banyak muncul dongeng-dongeng, legenda dan mite. Cerita semacam ini merupakan gambaran hidup manusia, meskipun tokoh-tokohnya sebagian besar adalah binatang. Di Indonesia, aliran simbolik pernah mengemuka ketika muncul dongeng-dongeng binatang. Misalkan saja Dongeng Sato Kewan karya Prijana Winduwinata. Dongeng ini bertokohkan binatang, terutama si Kancil, padahal isinya sebenarnya berbau politik pada saat itu. Ini berarti, aliran simbolik banyak diikuti pengarang-pengarang yang ingin membungkus karyanya. Pembukusan itu dimaksudkan agar tidak terlalu kentara jika berisi pesan ataupun kritik pedas.

MODEL BARU PENELITIAN SASTRA

A. Grounded Research
Penelitian sastra selalu berkaitan dengan teori sastra pula. Teori itu kadang-kadang kita impor dari negara lain. Kita sering tergila-gila pada teori yang berasal dari barat, seperti teori Abrams, Teeuw, Barthes, Eagleton, Taine, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa peneliti sastra kita dipaksakan untuk membedah karya sastra kita.
Pemaksaan teori tersebut juga telah membingkai peneliti sastra kita ke arah positivisme. Padahal, peneliti positivistik ini belum tentu sejalan dengan kondisi sastra kita. Pemahaman positivistik ini seringkali juga membelenggu lahirnya teori-teori baru di negeri kita. Lebih tegas lagi, kita sering kekeringan teori pemnelitian sastra yang benar-benar membumi. Karena adopsi teori sastra barat tersebut belum sepenuhnya mampu membingkai kondisi sastra kita. Ke-khasan sastra kita kadang-kadang tidak terwadahi oleh teori asing.

B. Kajian Fenomenologi Sastra
1. Titik Tolak fenomenologi Sastra
Fenomenologi adalah tataran berpikir secara filosofi terhadap obyek yang diteliti. Kecenderungan filsafat yang dipelopori Husserl ini menekankan peranan pemahaman terhadap arti. Dalam penelitian sastra, fenomenologi tidak mendorong keterlibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks sastra sesuai kesadaran peneliti. Dalan kaitan ini Gadamer (Selden, 1991 : 117) menjelaskan bahwa sebuah karya sastra tidak muncul ke dunia sebagai seberkas arti yang selesai dan terbungkus rapi. Arti tergantung pada situasi kesejarahan penafsir. Dari penjelasan ini berarti otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki peranan penting.
Wawasan ini menghendaki agar pengungkapan sebuah gejala didasarkan pada “penjelasan dan pengertian gejala itu sendiri”. Penangkapan gejala tersebut, dalam fenomenologi sastra memang lahir dari berbagai macam fenomenologi. Jika pengenalan gejala berusaha mengungkap pengertian murni obyek sastra, biasanya disebut fenomenologi eidetik. Fenomenologi ini didasarkan pada kajian bahasa, yang meliputi kajian makna dari fenomena dari gejala utama, lalu dipilahkan, disaring dan ditemukan gambaran pengertian murni,. Jika penangkapan fenomena mendasarkan pada kesadaran aktif (cigitto) peneliti, maka ia dinamakan fenomenologi transendental. Berbeda dengan fenomenologi eksistensial, bahwa penentuan gejala semata-mata bersifat individual. Refleksi individual menjadi guru bagi individu sendiri untuk menemukan kebenaran. Pengaruh personal sangat menentukan makna karya sastra.

2. Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam pandangan Iser (1988:212) fenomenologi sastra adalah pendekatan yang menekankan pada aspek idea. Dalam mempertimbangkian makna karya sastra, seharusnya tak hanya didasarkan pada teks saja, melainkan perlu adanya tanggapan terhadap teks tersebut. Dalam kaitan ini, Roman Ingarden mengenalkan adanya proses konkretisasi teks setelah dibaca. Tindakan konkretisasi ini hadir dari tanggapan pembaca.
Itulah sebabnya pemahaman karya sastra secara fenomenologi perlu mencermati tingkat-tingkat makna. Sebuah karya sastra tidak satu makna, melainkian memuat sejumlah makna yang berlapis. Tugas fenomenolog adalah menyingkap lapis-lapis makna itu. Senada dengan hal demikian, Roman Ingarden menyebutan bahwa karya sastra pada dasarnya memiliki sejumlah lapisan atau strata makna. Lapisan tersebut meliputi : (a) lapis bunyi, yaitu wujud paparan bahasa sebagai artefak yang mengembangkan makna tertentu, (b) dunia obyektif yang diciptakan pengarang, (c) dunia yang dipandang dari titik perpektif tertentu oleh pengarang dan (d) lapis arti yang bersifat metafisis. Keseluruhan unsur tersebut secara potensial telah ada dalam karya sastra itu sendiri. Penanggaplah yang harus berupaya mengkonkretkan melalui pelibatan kesadaran dalam membaca teks sastra.

C. Kajian Hermeneutik Sastra
1. Pentingnya Hermeneutik
Secara sederhana, hermeneutik berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur (Sumaryono, 1999:106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Permahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penliti harus menukik ke arah teks dan konteks hermeneutik sehingga ditemukan makna utuh.
Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan Kedua, metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural., Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik.

2. Langkah Kerja dan Aspek Kajian
Dalam kaitan dengan interpretasi, Smith (Luxemburg, 1989:51) mensugestikan bahwa “ our interpretation of a work and our experience of its value are mutually dependent, and each depend upon wahat might be called the psychological ‘set’ our encounter with it”. Dari sugesti ini, berarti intrerpretasi teks sastra sangat tergantung pada pengalaman di peneliti. Semakin dewasa si peneliti, tentu kematangan psikologisnya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan pula. Pengalaman peneliti juga amat penting dalam menggali makna sebuah teks sastra.
Penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu :
(1). Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas.
(2). Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak pada teks sendiri atau diluar teks.
(3). Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa kini.
(4). Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra.
(5). Penafsiran yang berpangkal; pada suatu problematik tertentu, misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral dan sebagainya.
(6). Tafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin mmenunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.

PENELITIAN FORMALITAS
DAN STRUKTURALISME MURNI

A. Prinsip Strukturalisme
Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tak bisa lepas dari apek-aspek linguistik. Sejak jaman Yunani, Aristoteles telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep wholeness, unit, complexity dan coherence. Hal ini merepresentasikan bahwa keutuham makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra. Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing unsur memiliki pertautan dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa pararelisme, pertentangan, inversi dan kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan. Sebagi contoh, kata manis baru bermakna lengkap ketika dipertentangkan dengan kata pahit. Ini berarti bahwa struktur sastra memiliki fungsi.
Menurut Jean Peaget (Hawkes, 1978:16) Strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrisik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal diluar dirinya untuk mempertahankan prosedur trransformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Pahan strukturalis, secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya telah menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau seperti yang dikemukakan Luxemburg (1989) tentang signifiant-signifie dan paradigma-syntagma. Kedua unsur itru selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan. Karenanya, kedua unsur penting ini tak dapat dipisahkan dalam penafsiran sastra.

B. Kelebihan Dan Kelemahan Strukturalisme
Dalam penelitian struktural, penekanan pada relasi antar unsur pembangun teks sastra. Unsur teks secara sendiri-sendiri tidak penting. Unsur teks itu hanya memperoleh arti penuh melalui relasi oposisi maupun relasi asosiasi. Relasi oposisi biasanya lebih berkembang pada dunia antropologi, sedangkan dunia sastra banyak menggunakan relasi asosiasi. Melalui Barthes dan Kristeva di Perancis, strukturalismme mulai berkembang luas. Keduanya mengenalkan penafsiran struktural teks sastra berdasarkan kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan retorika, psikoanalisis dan sosiokultural.
Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu menekankan aspek intrisik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah “ artefak”(benda seni) yang bermakna. Artefak tersebut terdiri dari unsur teks seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gata bahasa dan sebagainya yang jalin-menjalin rapi. Jalinan antar unsur tersebut akan membentuk makna yang utuh pada sebuah teks. Itulah sebabnya, Smith (Aminuddin, 1990:62) mengungkapkan penelitian dtruktur internal karya sastra merupakan the ontological structure of the work of art. Dari sini tampak bahwa karya sastra merupakan organised whole has various constituente, unsur-unsur pemadu dalam totalitas itu memiliki interrelations and mutual dependencies, dan antara unsur pembangun totalitas itu memiliki stratifikasi hubungan tertentu.
Sebagai sebuah model penelitian, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang perlu direnungkan bagi peneliti struktural, yaitu melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah dan terpisah dari aspek kemanusiaan.
Analisis strukturalisme biasanya mengandalkan paham positivistik, yaitu berdasarkan tekstual. Peneliti membangun teori analisis struktural yang handal, kemudian diterapkan untuk menganalisis teks. Metode positive ini biasanya juga sering digunakan kaum formalis, yang mempercayai teks sebagai studi utama. Yang menjadi problem analisis strukturalisme, antara lain pada pemilihan data teks. Seringkali peneliti tergoda untuk meneliti karya-karya dari pengarang ternama saja. Padahal sesungguhnya pengarang lain perlu dikaji secara struktural. Paling tidak jika ada perbedaan struktur antara karya yang bersifat subjektif ini, seringkali juga menyebabkan penelitian strukturalisme kurang berkembang di beberapa pusat penelitian.

C. Langkah Kerja Strukturalisme
Langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural adalah sebagai berikut :
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
3. Unsur tema sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lainm karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
4. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur.

PENGEMBANGAN PENELITIAN STRUKTURAL SASTRA

1. Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagi individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia, yang bagi Goldman selalu terbayang dalam karya sastra agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi obyektif). Abtraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya.
Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model dialektik. Teknik ini berbeda dengan positivistik, intuitif, biografi dan sebagainya. Model dialektik mengutamakan makna yang koheren. Prinsip dasar teknik analisis dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dalam totalitas. Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua macam konsep, yaitu “ keseluruhan-bagian’ dan “ pemahaman-penjelasan.
Goldman menyatakan bahwa sudut pandang dialektik berbeda dengan sudut pandang rasional dan sudut pandang empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya mengansumsikan adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara langsung dapat didekati, sedangkan kaum empirik menyandarkan diri pada kesan inderawi. Dua sudut pandang penelitian ini sama-sama mengharuskan agar ditemukannya pengetahuan secara pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda dengan sudut pandang dialektik, yang berasumsi bahwa dalam analisis sastra tidak pernah ada titik awal yang secara mutlak valid, tidak ada persoalan yang secara final pasti terpecahkan.

2. Strukturalisme Dinamik
Strukturalisme dinamik lebih merupakan pengembangan strukturalisme murni atau klasik juga. Strukturalisme dinamik mengakui kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui peran sejarah serta lingkungan sosial, meski bagaimanapun sentral penelitian tetap pada karya sastra itu sendiri. Perbedaan pokok antara strukturalisme genetik dan dinamik terletak pada subyek yang diteliti. Strukturalisme dinamik lebih menekankan pada karya-karya masterpice, karya mainstream, dan karya agung.
Strukturalisme dinamik lebih fleksibel dalam menerapkan teori penelitian. Teori yang dipakai biasanya merupakan gabungan sedikit-sedikit antara teori satu dengan yang lain. Penelitian ini menolak asumsi-asumsi strukturalisme murni yang sangat menolak kesadaran subyektif, takluk pada sistem, menolak historismer, mengidolakan sinkronik dan anti humanisme. Atas dasar ini, strukturalisme dinamik justru mengenalkan penelitian sastra dalam kaitannya dengan sistem tanda. Caranya adalah menggabungkan kajian otonom karya sastra dan semiotik. Kajian otonom dilakukan secara intrisik dan kajian semiotik akan merepresentasikan teks sastra sebagai ekspresi gagasan, pemikiran, dan cita-cita pengarang. Gagasan tersebut dimanifestasikan dalam tanda-tanda khusus. Kepaduan antar struktur otonom dan tanda ini, merupakan wujud bahwa struktur karya sastra bersifat dinamik.

3. Strukturalisme Semiotik
Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa ini sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa khas. Yakni bahasa yang memuat tanda-tanda satu semiotik. Bahasa itu akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dam ilmu yang mempelajari masalah ini, adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.
Model struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktur. Jika struktural sekadar menitikberatkan aspek intrisik, semiotik yang demikan halnya, karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan aspek-aspek struktural dengan tanda-tanda. Tanda sekecil apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan.
Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya sastra sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana komunikasi yang bersifat elastis. Karenanya setiap tanda membutuhkan pemaknaan (Segers, 2000:6), membagi tiga jenis sarana komunikasi, yaitu signal dan symbol. Signal adalah tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, seperti halnya sebuah stimulus pada sebuah bintang. Sign adalah tanda-tanda. Symbol adalah lambang yang bermakna. Ketiganya seringkali digunakan tidak secara terpisah dalam dunia sastra. Karena itu, tugas peneliti sastra adalah meberikan rincian ketiganya, sehingga makna sastra itu menjadi jelas.
Sistem kerja penelitian semiotik dapat menggunakan dua model pembacan, yaitu heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah telaah dari kata-kata, bait-bait (line), dan term-term karya sastra. Sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan penafsiran atas totalistas karya sastra.
Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:166) memberikan acuan bahwa penelitian semiotik sekurang-kurangnya perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu (a) the construction of abstract scientific models, (b) explanatory model, (c) schematic simplication. Sedangkan menurut Riffaterre (1978:1-2) penelitian semiotik perlu memperhatikan tiga hal juga, yaitu (1)displacing of meaning (penciptaan arti), (2) distorting of meaning (penyimpangan arti), (3) creating of meaning (penciptaan arti). Meskipun konsep analitik itu banyak digunakan dalam penelitian puisi, tidak berarti tidak dapat diterapkan pada genre lain. Genre drama dan prosa pun dapat memanfaatkan hal ini.

PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA
A. Sosiologi Sastra
1. Rasionalisasi Sosiologi Sastra
Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967:75), bahwa “all literature, however, fantastic or mystical in concent is animated by a profound social concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work. Pendapat ini jelas merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Memang pencipta sastra akan dengan sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealisme mereka.
Dalam pandangan Wolf (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Ia juga menawarkan studi sosiologi yang lebih verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya sastra.

2. Prespektif Sosiologi Sastra
Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan Levin (Elizabeth dan Burns, 1973:31) “ literature is not only the effect of social causes but also the cause of social effect”. Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbale balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.
Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen social yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1. Fungsi Sosial Sastra
Fungsi sosial sastra menurut Watt (Damono, 1978:70-71) akan berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu diungkap : (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau Nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghjibur.

2. Produksi dan Pemasaran Sastra
Penelitian tentang produksi dan pemasaran sastra memang jarang dilakukan. Karena, masalah ini seakan-akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal, sebenarnya tidak demikian, artinya pengembangan karya sastra juga menjadi tanggung jawab bersama. Sekurang-kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga kutup sastra yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang.
Perhatian peneliti semacam itu, memang sedikit mengesampingkan sosiologi sastra sebagi teori, melainkan berupaya memperhitungkan berbagai hal yang terkait dengan factor-faktor sosial yang menyangkut sastra. Factor-faktor tersebut antara lain : tipe dan taraf ekonomi masyarakat tempat berkarya, kelas atau kelompok sosial yang berhubungan dengan karya, sifat pembaca, system sponsor, pengayom, tradisi sastra dan sebagainya.
PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA

A. Landasan Pijak Psikologi Sastra
Asumsi dasar penelitian psikologis sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcius setelah jelas baru dituangkan kle dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi poengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologis sastra di smping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptrakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog ataupun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.

B. Pendekatan Psikologi Sastra
1. Beberapa Kemungkinan Kajian
Pada dasarnya psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tektual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua pendekatan reseptik-reseptik yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologi sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupuin wakil masyarakat (Roekhan, 1990:88)
Penelitian psikologis sastra dari aspek tekstual, semula memang tak bisa lepas dari prinsip-prinsip Freud tentang psikologis dalam. Buku Freud tentang interpretasi mimpi dalam teks sastra, telah banyak mengilhami para peneliti psikologi teks. Apalagi buku ini belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentu lebih mudah dipahami oleh ilmuwan kita.

2. Kajian Estetika Eksperimental
Penelitian psikologi sastra lebih menitikberatkan pada aspek functioning humand mind “pikiran manusia”( Segers, 2000:73). Fungsi termaksud akan berhubungan dengan istilah Berlyne tentang experimental esthetics. Yakni peneliti akan menggunakan respoinden kurang lebih 25-an, jauh lebih kecil dari penelitian sosiologi sastra resepsi. Peneliti akan mengaitkan estetika eksperimental sebagai studi pengaruh efek-efek motivasional dari teks sastra pada penerimanya. Efek motivasional ini akan tampak melalui aspek kolatif, yaitu sebuah stimulus yang muncul dalam teks sastra. Aspek kolatif merupkan bagian teks yang dapat membangkitkan perasaan, misalnya kebaruan (novelty), surprising(keterkejutan), complexity (kemajemukan), ambiguity (ambiguitas) dan puzzlingnes (ketertekatekian).

C. Psikoanalisa
1. Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadarannya merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang menciptakan tokoh, kadang “bermimpi” seperti halnya realitas. Semakin jauh lagi, pengarang juga sering “gila” sehingga yang diekspresikan seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego dan suuper ego. Ketiga system kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id (das es) adalah system kepribadian manusia yang paling dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa seniman / sastrawan menjdi kreatif. Melalui Id pula sastrawan mampu mnenciptakan symbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel psikologis misalnya ternyata merupakan karya yang dikerjakan berdasarkan interpretasi posikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot.

2. Alam Bawah Sadar
Penerapan penelitian psikologi sastra dalam kajian pernah dilakukan oleh M.S. Hutagalung dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Zainuddin Fananie (2001) dalam novel NByali karya Putu Wijayta. Keduia penelitian tersebut menggunakan teori psikoanalisis Freud untuk membedah novel. Jadi keduanya jelas penelitian psikologi sastra yang berpijak pada teks sastra. Asumsi peneliti bahwa pencipta kedua novel tersebut menerapkan teori psikoanalisis ke dalam karya.
Dari penelitian tersebut, ternyata MS. Hutagalung mampu mengungkapkan bahwa tokoh Isa pada novel Jalan Ada Ujung memiliki perilaku yang terpengaruh pandangan Freud tentang lapisan tak sadar dari jiwa manusia. Misalkan Mochtar Lubis bercerita tentang Guru Isa : “ia menutup mukanya dengan kedua tangannya dan mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi yang dirasakannya sekarang ialah reaksi yang lambat yang sekarang timbul dan perasaan yang tertekan tadi.



D. Langkah dan Proses Analisis
Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra tidak akan lepas dari sasaran penelitian. Apakah peneliti sekedar menitikberatkan pada psikologi tokoh dan atau sampai proses kreativitas pengarang. Yang penting harus dilakukan dari sasaran penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa proses, yaitu : Pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa unsur intrisik maupun ekstrinsik. Namun tekanan pada unsur intrisik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya.
Kedua, disamping tokoh dan watak, perlu dikaji pula masalah tema karya. Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada nalar perilaku rokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya terfokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh bawahan yang dianggap tak penting pun harus diungkap. Yang lebih penting, peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal tentang watak tokoh, mengapa oleh pengarang diberi perwatakan demikian.
Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikitkan dengan alur cerita. Misalkan saja, ada tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi, gila dan sebagainya. Jika yang terkahir ini sampai terjadi, berarti ini menjadi wilayah penelitian psikologi sastra.

PENELITIAN ANTROPOLOGI SASTRA

A. Ruang Lingkup Antropologi Sastra
Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu inim tampaknya masih jarang diminati. Padahal sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia.
Penelitian saemacam itu perlu dilakukanm tidak berarti peneliti sastra tergolong serakah. Namun, banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi penelitian antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.

B. Fokus dan Proses Analisis Antropologi Sastra
Antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arkepital, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Karenanya, peneliti antropologi sastra dapat mengkaji keduanya dalm bentuk paparan etnografi.

C. Analisis Mitos Model Levi-Strauss
1. Keunikan Mitos Sebagai Bahan Kajian
Mitos yang dimaksud Levi-Strauss tak selalu sama dengan konsep mitos pada umumnya. Levi-Strauss berpendapat bahwa mitos tidak selalu relevan dengan sejarah dan kenyataan. Mitos jiuga tidak selalu bersifat sakral atau wingit (suci). Oleh karena, mitos yang suci pada suatu tempat, di tempat lain hanya dianggap khayalan. Jadi mitos dalam kajian Levi-Strauss, tak lebih sebagai dongeng.
Dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun kehidupan manusia sehari-hari. Melalui dongeng tersebut, khayalan manusia memperoleh kebebasan mutlak, karena manusia bebas menciptakan apa saja. Hal-hal yang tak masuk akal boleh terjadi dalam dongeng. Misalkan saja, dongeng Kancil dan Gajah yang menokohkan seekor kancil yang mampu memperdaya gajah.

2. Sistem Oposisi
Paham penelitian Levi-Strauss, selain terilhami de Saussure, juga terpengaruh Jakobson dan Troubetzkov. Dalam membahas mitor, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos pada dasarnya mirip dengan bahasa. Jika dalam bahasa ada konsep la language, yaitu keseluruhan sistem tanda yang dimiliki kelompok orang yang menggunakan bahasa dan la parole adalah perwujudan dari sistem tanda itu, yaitu tindak bicara konkrit seorang individu yang pada saat tertentu menggunakan sistem tanda itu untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, ada aspek diaronik dan sinkronik, paradigmatik dan sintagmtik yang di dalamnya ada relasi-relasi dalam mitos pun demikian juga. Aspek sinkronik adalah mitos yang diyakini sebagai peristiwa masa lampau namun masih relevan untuk masa kini dan aspek diakronik adalah mitos yang berasal dari masa lampau tetapi tetap ada sampai sekarang.

3. Langkah Analisis
Analisis mitos model Levi-Strauss dapat berupa kajian struktural. Kajian yang dilakukan bisa berupa satu atau lebih mitos. Jika bahan kajian hanya satu mitos, peneliti akan mencari struktur perjalanan cerita, tokoh, ideologi tokoh, dan sebagainya. Unsur-unsur struktur intrisik cerita itu selanjutnya distrukturkan.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis mitos adalah sebagai berikut :
(1). Merekam, mentransfer dan mendokumentasikan mitos jika belum berupa tulisan.
(2). Membaca mitos satu demi satu, kemudian diidentifikasi mitem-mitemnya.
(3). Pencarian mitem, dapat menggunakan sistem kerja trial and error sampai peneliti menemukan struktur yang sulit tergioyahkan.
(4). Kata atau kalimat yang menjadi mitem tadi dicatat dalam kartu data sesuai dengan perkembangan cerita.
(5). Menyusun mitem-mitem tersebut dalam struktur sintagmatis dan paradigmatis.

PENELITIAN PRAGMATIK DAN RESEPSI SASTRA

A. Antara Penelitian Pragmatik dan Resepsi
Pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang ke arah aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar ketiudakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna sastra dari aspek permukaan saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca permukaan saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna. Karena itu, muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek kegunaan sastra ini dapat diungkap melalui penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra.
Penelitian resepsi sebenarnya wilayah telaah pragmatik sastra. termasuk di dalamnya adalah bagaimana aktivitas pembaca sebagai penikmat dan penyelamat karya sastra lama. Sebagai penikmat, pembaca akan meresepsi dan sekaligus memberikan tanggapan tertentu terhadap karya sastra. Sebagai penyelamat, pembaca yang mau menerima kehadiran sastra, juga akan meresepsi dan selanjutnya melestarikan dengan cara mentransformasikan.

B. Dasar Penelitian Sastra
Penelitian sastra tergolong ilmu geistewissenschafen, artinya telaah ilmu kemanusiaan. Penelitian serupa sering disebut juga telaah humaniora. Hanya saja, subyeknya dapat berupa teks sastra dan tentang sastra. Penelitian teeks sastra selalu dikaitkan dengan hidup manusia, maka telaah tentang sastra , berkaitan dengannihwal yangb menyangkut di luar teks sastra, seperti pembaca dan pengarang. Baik penelitian teks sastra maupun tentang aspek di luar sastra, keduanya sama-sama penting dan saling melengkapi. Karena itu peneliti sastra perlu mempertimbangkan aspek pembaca dalam pemaknaan teks. Salah satunya bidang yang relevan diteliti adalah masalah resepsi sastra. Dari sini akan terungkap jelas bagaimana tanggapan pembaca terhadap teks sastra.

C. Aspek Penelitian Resepsi Sastra
Penelitian resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi termaksud dapat positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif, mungkin pembaca akan senang, gembira, tertawa, dan segera mereaksi dengan perasannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mukarovsky (Fokkema, 1977:1347) bahwa peranan pembaca amat penting yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Karya sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi makna oleh pembaca sehingga menjadi obyek estetik. Reaksi terhdap teks sastra tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan hal yang baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya. Sebaliknya, reaksi yang bersifat negatif mungkin pembaca akan sedih, akan jengkel, bahkan antipati terhadap teks sastra.

D. Analisis Resepsi sastra
1. Pendekatan Yang Digunakan
Pendekatan yang sering digunakan oleh peneliti resepsi adalah fenomenologi. Fenomenologi berasal dari kata Yunani phaenomenon yang berarti gejala yng tampak. Maksudnya, peneliti resepsi dapat mencermati gejala yang tampak pada si pembaca teks sastra. Mungkin pembaca akan merasa tergila-gila, senang, msedih dan atau tertawa terbahak-bahak. Hal semacam ini telah dilakukan Roman Ingarden (Iser, 1978:170) secara fenomenologis ia mngungkapkan keberterimaan karya sastra. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum dikatakan lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas” yangb perlu dilengkapi secara individual menurut penghalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks lain (yang dikenal dengan model sastra perbandingan) dianggap belum sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembacanya). Maka, pembaca akan berusaha menafsirkan atau memakai sejauh pengalaman yang dimilikinya.

2. Horison Pembaca Dan Kategori Pembaca
Dalam pandangan Jauss, horison pembaca (horizon of expectation) memungkinkan terjadinya penerimaan dan pegolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca terbagi menjadi dua, yaitu (1) yang bersifat estetis dan (2) tak estetik (diluar tekls sastra). Yang bersifat estetik berupa penerimaan unsur-unsur strukjtur pembangun karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya. Kedua sisi resepsi sastra tersebut sama-samna penting dalam pemahaman karya sastra.
Melalui penelitian resepsi serupa, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra. Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertyama kali ditulis sampai penerimaan selanjutnya. Bagi Jauss, karya sastra memiliki implikasi estetik dan historis. Implikasi estetik muncul apabila sebuah teks dibandingkan dengan teks lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atua resepsi sebelumnya.

PENELITIAN SASTRA BANDINGAN

A. Konsep Sastra Bandingan
1. Hakikat Kajian Sastra Bandingan
Dua istilah yang perlu dijelaskan untuk membantu peneliti adalah sastra bandingan dan sastra perbandingan.. Dua hal ini mempunyai implikasi yang kurang lebih sama. Sastra bandingan sering disingkat sanding dan sastra perbandingan disingkat sasper. Penyingkapan semacam ini sekedar mempermudah ucapan saja, yang penting pengertiannya tidak berbeda.
Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah geoggrafis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan aspek kehidupan.

2. Ilmu Sastra Bandingan
Ilmu sastra menjadi pijakan sastra bandingan. Oleh karena, melalui ilmu sastra tersebut akan dapat dilihat apakah karya sastra satu dengan yang lain saling bersinggungan atau tidak. Teori-teori tentang gaya bahasa, naratologi, estetika dan sebagainya amat bermanfaat bagi studi sastra perbandingan. Tanpa ilmu dan atau teori mendasar, seorang peneliti tak mungkin membandingkan karya sastra secara cermat. Apalagi kalau karya sastra yang dibandingkan itu sangat halus kemiripannya.
Sastra bandingan, awalnya memang berkembang di Perancis, Inggris, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya. Selanjutnya, sastra bandingan juga melebarkan sayap ke Amerika dan Asia pada umumnya. Sejak tahun 1970-an sastra bandingan mulai berkembang dengan mengkaji karya-karya Andre Malraug, William Somerset Maughnam dan Franz Kafka. Pada awalnya, sastra bandingan sekedar membandingkan karya sastra dengan karya sastra, untuk mencari kefavoritan dan keoriginalitasan karya sastra. Dari perbandingan ini, akan ditemukan karya-karya yang bertaraf nasional dan bahkan taraf dunia.

B. Intertekstualitas dan Sastra Bandingan
1. Orisinalitas Tes
Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Interteks memang lebih sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan gerakan peneliti filologi baik klasik maupun modern, yang selalu berhubungan dnegan teks sastra, sastra bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan dapat melebar ke arah bandingan antara sastra dengan bidang lain yang mungkin (diluar sastra).
Munculnya studi interteks sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang luar biasa poentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena senada akan memiliki sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara cermat satu sama lain.

2. Pokok Kajian Interteks
Kajian sastra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya (Riffarterre, 1978:23). Jadi hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan induk yang akan menetaskan karya-karya baru. Dalam hal ini peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya induk dengan karya baru. Namun tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas pengarang.

C. Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan Sastra Dunia
Kajian sastra bandingan tidak dapat mengabaikan peranan sastra nasional yang lama-kelamaan akan menjadi sastra dunia. Sastra nasional adalah sastra yang secara umum menjadi milik bangsa. Pengertian nasional ini adalah batas wilayah politik suatu negara. Jadi, karya sastra Amerika, Serikat, dan Inggris, meskipun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, adalah dua hal yang berbeda.
Istilah yang sering terkait dengan sastra bandingan adalah sastra dunia (world literature). Ada juga yang menyebut sastra universal. Sastra dunia adalah sastra yang memuat pandangan-pandangan universal atau mendunia. Sastra tersbut diakui oleh seluruh orang di dunia. Biasanya, karya-karya senacam ini tergolong masterpiece (karya sastra agung). Karya sastra demikian banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa ke seluruh dunia. Tentu saja untuk menjadi sastra dunia tidak hanya memakan waktu pendek. Meskipun ukuran waktu ini sangat lentur, namun sekurang-kurangnya bila karya tersebut sangat digemari oleh siapapun di dunia, boleh dikatakan sebagai sastra dunia.

D. Ruang Lingkup Sastra Bandingan
Sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas sebuah negara dan tentang hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan lain. Pada dasarnya, baik studi interteks maupun sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu : (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya sastra lain atu pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya.
Dua hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup studi, antara lain : (a) perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya, pengarang yang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya; (b) membandingkan karya sastra dengan bidang lain, seperti arsitektur, pengobatan tradisional, takhayul, dan seterusnya; (c) kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori dan kritik sastra.

E. Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan
Kajian konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra bandingan. Karya yang terpengaruh dengan karya sebelumnya, tentu akan memiliki identitas tersendiri. Dari proses pengaruh-mempengaruhi itu akan terdapat berbagai aspek bandingan yang disebut varian. Dalam konteks ini, memang karya sebelumnya dianggap karya “super”, artinya bisa mempengaruhi karya berikutnya. Seberapa jauh keterpengaruhan tersebut, tergantung kemampuan pengarang. Keterpengaruhan ini jelas akan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain : (a) perkembangan karir pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya pengarang. Dari tiga hal ini, manakala pengarang berikutnya bersikap ceroboh, tentu akan terdapat pengaruh yang langsung atau semakin jelas. Berbeda dengan pengarang yang kreatif, tentu pengaruh tersebut semakin halus dan hampir tersembunyi. Pengarang yang banyak membaca karya lain dan sering bermigrasi ke mana-mana, seringkali terpengaruh sumber.

F. Metode Sastra Bandingan
Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra, yang obyeknya lebih darti satu karya. Penekanan sastra bandingan adalah pada aspek kesejarahan teks. Itulah ebabnya, menurut Yaapar (Santosa, 2003:99) sastra bandingan bersifat positivistik. Kajiannya bercorak binari (duaan) dan bertumpu pada rapport defaits, artinya perhubungan faktual antara dua buah teks yang diteliti secara pasti. Kegiatan yang dilakukan juga menganalisis, menafsirkan dan menilai. Karena obyeknya lebih dari satu, setiap obyek harus ditelaah, barulah hasil telaah tersebut diperbandingkan. Bisa saja, peneliti melakukan analisis struktural kedua karya, baru diperbandingkan. Dengan cara ini akan mempermudah peneliti melakjukan bandingan. Setidaknya akan mudah ditemukan unsur persamaan dan perbedaan setiap karya sastra.

resuman buku pengajaran drama

resuman buku herman waluyo judul "Drama teori dan pengajaranya
DAFTAR ISI

BAB I
DRAMA DAN PERMASALAHANNYA
1. LAKON DAN KONFLIK MANUSIA
2. STRUKTUR DRAMA NASKAH
• PLOT atau krangka cerita
• Penokohan dan perwatakan
• Dialog atau percakapan
• Seting atau landasan atau tempat kejadian
• Tema atau nada dasar cerita
• Amanat pesan pengarang
• Petunjuk teknis
• Drama sebagai interprestasi kehidupan
3. NASKAH- PENGARANG- PEMENTASAN – PENONTON
4. PEMENTASAN DRAMA
• AKTOR DAN CASTING
• SUTRADARA
• PENATA PENTAS
• PENATA ARTISTIK
5. KLASIFIKASI DRAMA
• Tragedi atau drama duka atau duka cerita
• Melodrama
• Komedi atau drama ria
• Dagelan Farce
6. JENIS DAN KONSEPSI DRAMA DAN TEATER
• Jenis-jenis drama
• Klasifikasi drama berdasarkan aliran
• Beberapa konsepsi tentang drama atau teater

BAB II
PENYUTADARAAN DAN TEKNIK BERPERAN
1. PENYUTRADARAAN
• Sejarah timbulnya sutradara
• Tugas sutradara
2. TEKNIK BERPERAN
• Teknik berperan menurut Rendra
• Teknik Edward A. Wright
• Oscar Broket
• Constantin stanislavsky
• Richard boleslavsky
• Adjib hamzah

BAB III
PERLENGKAPAN PEMENTASAN
1. PERLENGKAPAN, PEMNTASAN UNTUK AKTOR ATAU AKTRIS
• Rias
• Tata pakaian
2. PERLENGKAPAN DI PENTAS
• Tata lampu
• Tata pentas dan dekorasi
• Ilustrasi musik dan tata suara
• Beberapa catatan tambahan

BAB IV
PENGAJARAN DRAMA
1. PROSES BELAJAR MENGAJAR
• Sleksi atau pemilihan materi
• Gradasi (urutan penahapan)
• Persentasi atau tyeknik penyampaian
• Repetisi
• Evaluasi dalam pengajaran drama
2. STRATEGI PENGAJARAN TEKS DRAMA ( SEBAGAI KARYA SASTRA)
• Strategi stratta
• Langkah –langkah penyajian
• Strategi induktif Model Taba
• Strategi analisis
• Strategi sinektik atau Model Gordon
• Role playing atau Bermain Peran
• Simulasi
3. STRATEGI PEMBELAJARAN DRAMA PENTAS
• Pementasan drama di kelas
• Pementasan drama oleh teater sekolah
• Teknik pembinaan apresiasi drama
• Catatan tambahan tentang pemilihan materi
BAB I
DRAMA DAN PERMASALAHANNYA
Perkataan ”drama” berasal dari bahasa yunani ”draomai” yang berarti: berbuat berlaku, bertindak atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau action. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau dari apakah drama salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, kesenian lukis atau dekor, panggung, seni kostum seni rias dan sebagainya. Jika kita bicarakan dram pentas sebagai kesenian mandiri, maka ingatan kita dapat kita layangkan pada wayang, ketoprak, ludruk, lenong dan film. Dalam kesenian tersebut, naskah drama di ramu dengan berbagai unsur untuk membentuk kelengkapan.
Terminologi istilah drama biasanya di dasarkan pada wilayah pembicaraan, apaakah yang dimaksud drama naskah atau drama pentas. Drama naskah dapat diberi batasan sebagai salah satu jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan di pentaskan. Moulton memberikan definisi drama (pentas) sebagai hidup manusia yang dilukiskan dengan action. Hidup manusia yang dilukiskan dengan action itu lebih dahulu dituliskan maka drama baik naskah maupun pentas berhubungan bahasa dan sastra. Telaah drama harus dikaitkan dengan sastra.

1. LAKON DAN KONFLIK MANUSIA
Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik itu lebih bersifat batin dari pada fisik. Konflik manusia itu sering juga dilukiskan secara fisik. Dalam wayang, wayang orang, ketoprak, dan juga ludruk akan kita saksikan bahwa klimaks dari pada konflik batin tu adalah bentrokan fisik yang diwujudkan dalam perang.
Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus memiliki motif. Motif dari konflik yang dibangunm itu akan mewujudkan kejadian-kejadian. Motif dan kejadian-kejadian haruslah wajar dan realistis, artinya benar-benar diambil dari kehidupan manusia. Konflik yang muncul dari kehidupan manusia. Jika dalam wayang persoalan yang di jadiakn konflik adalah perebutan negara atau wanita, maka motif konflik dalam drama moderen janganlah negara atau wanita. Tokoh-tokoh wanita masa kini tidak akan berebut negara dan berebut wanita.

2. STRUKTUR DRAMA NASKAH
2. 1. PLOT atau krangka cerita
Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik anatara dua tokoh yang berlawanan. Konflik itu berkembang karena kontradiksi para pelaku. sifat dua tokoh itu bertentangan, misalnya: kebaikan kontra dengan kejahatan, tokoh sopan kontra dengan tokoh berutal, tokoh pembela kebenaran kontra dengan bandit, tokoh kesatria kontra dengan penjahat, tokoh bermoral kontra dengan tokoh tidak bermoral, dan sebgainya. Konflik itu semakin lama semakin meningkat untuk kemudian mencapai titik kelimaks. Setelah klimaks lakon akan menuju penyelesaian.
Jalinan konflikj dalam plot itu biasanya meliputi hal-hal:
• Protasis atau jalinan awal
• Epitasio
• Catarsis
• Catasprophe (Aristoteles)

2. 2. Penokohan dan perwatakan
Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Susunan tokoh (drama personae) adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam tokoh itu dalam susunan tokoh ini yang terlebih dahulu dijeaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan dan keadaan kejiwaannya itu. Penulis lakon sudah menggambarkan perwatakan tokoh-tokohnya.
Watak tokoh itu akan menjadi nyata terbaca dalam dialog dan catatan samping. Jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh itu. Dalam wayang kulit atau wayang orang, tokoh-tokohnya sudah memiliki watak yang khas, yang didukung pula dengan gerak-gerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat dan ungkapan yang digunakan.
2. 3. Dialog atau percakapan
Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog. Dalam menyusun dialog ini, pengarang harus benar-benar memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Pembicaraan yang ditulis oleh pengarang naskah drama adalah pembicaraan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan diatas panggung. Bayangan pentas diatas panggung merupakan mimetik (tiruan) dari kehidupan sehari-hari, maka dialog yang ditulis juga mencerminkan pembicaraan sehari-hari.
Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal ini di sebab kan karena drama adalah potret kenyataan. Drama adalah kenyataan yang diangkat ke atas pentas, nuansa-nuansa dialog mungkin tidak lengkap dan akan dilengkapi dengan gerakan, musik, ekspresi wajah dan sebagainya. Dalam hal ini, kesempurnaan sebuah naskah drama akan terlihat setelah dipentaskan.
2. 4. Seting, landasan atau tempat kejadian
Seting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Penentuan ini harus secara cermat sebab drama naskah harus juga memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Seting biasanya meliput tiga dimensi yaitu tempat ruang dan waktu.
2. 5. Tema atau nada dasar cerita
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan premis. Dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya sudut pandang ini, sering dihubungkan dengan aliran yang dianut oleh pengarang.
2. 6. Amanat pesan pengarang
Amanat yang hendak disampaikan pengarang melalui dramanya harus dicari oleh pembaca atau penonton. Seorang pengarang drama sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat dalam karyanga itu. Pembaca cukup teliti akan dapat menangkap apa yang tersirat dan yang tersurat. Jika karya sastra berhubungan denagn arti atau meaning dari karya sasra itu maka amanat berhubungan denagn makna atau significance dari karya sastra itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanah bersifat kias, subjektif dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya sastra itu bagi dirinya, dan semua cendrung benar. Tema bersifat objektif. Ada drama yang bertema ketuhanan, perikemanusiaan, cinta, patriotisme, kritik sosial, renungan hidup dan sebagainya. Amanat yang khendak di sampaikan oleh pengarang perlu diberikan beberapa alternatif. Di dalam menafsirkan amanat itu, kita dapat bersikap akomodatif.
2. 7. Petunjuk teknis
Dalam naskah drama diperlukan juga petunjukj teknis, yang sering juga disebut teks samping dalam sandiwara radio, sandiwara televisi atau secanario film, kedudukan teks samping ini sangat penting. Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor dan aktris, suasana pentas, keras lemahnya dialog, warna suara, perasan yang mendasari dialog dan sebagainya. Teks samping ini biasanya ditulis denag tulisan berbeda dari dialog (misalnya denag huruf miring atau huruf besar semua).
2. 8. Drama sebagai interprestasi kehidupan
Ulasan tentang interperstasi kehidupan erat hubungannya denagn nada dasar atau pandangan dasar penulis drama itu. Nada dasar drama bukan nada dasar penafsir atau sutradara. Dama sebagai tiruan atau mimetik terhadap kehidupan, berusaha memotret kehidupan secara real. Setiap pengarang tidak sama dalam menginterprestasikan sisi kehidupan. Ada pengarang yang memfokuskan pada segi keadilan, segi cinta kasih, segi kebobrokan moral, segi moral, segi digdagtsi,segi kepincangan dalam masyarakat, segi suka dan duka, dan sebagainya. Tontonan atau naskah yang dihasilkan akan ditentukan oleh bagaimana sikap penulis dalam menginterprestasikan kehidupan ini.

3. NASKAH- PENGARANG- PEMENTASAN – PENONTON
Naskah-naskah drama yang diutlis setahun 1930-an nilai sastranya cukup tinggi, tetapi kemungkinan pentasnya tidak meyakinkan. Naskah yang demikian bersifat komunikatif , bahasanya adalah bahasa yang hidup dalam masyarakat, bahasa speech-act. Nilai literer memang tidak boleh ditinggalkan, tetapi sifat komunikatif harus diperhatikan.
Keunggulan pada naskah drama adalah pada konflik yang dibangun. Konflik menentukan penanjakan-penanjakan kearah klimaks. Jawaban terhadap konflik itu akan melahirkan atau menghasilkan suspense dan kejutan. Tingkat keterampilan penulis dalam drama ditentukan oleh keterampilan menjalin konflik yang diwarnai oleh kejutan dan suspense yang belum pernah diciptakan pengarang lain.

4. PEMENTASAN DRAMA
Pementasan drama merupakan karya kolektif yang dikoordinasikan oleh sutradara, yaitu pekerja teater yang denagn kerja kecakapan dan keahliannya memimpin actor-aktris dan pekerja teknis dalam pementasan. Selain itu, adapula produser yang memberikan biaya pementasan dan menejer yang mengatur pelaksanaan pementasan. Biasanya sutradara tidak mampu merangkap sebagai manajer pementasan, demikian juga sutradara tidak mapu mengkoordinasikan seluruh teknisi. Untuk itu diadakan assisten sutradara yang bertugas membantu sutradara dalam menangani tugas koordinasi itu, sedangkan art directur membidangi hal-hal yang bersifat artistik (bukan teknis) seperti kostum, rias, lampu, sound effect dan sebagainya.
4. 1. AKTOR DAN CASTING
Aktor dan aktris merupakan tulang punggung pementasan. Dengan aktor-aktri yang tepat berpengalaman, dapat dimungkinkan pementasan yang bermutu jika naskah baik dan sutradaranya cakap. Tokoh seperti Teguh dari Srimulat, Usmar Ismail, Wim Umboh, Teguh Karya, Rendra dan Arifin C. Noer, mampu mengorbitkan calon aktor yang cukup tangguh dengan kemampuan yang memadai.
Pemilihan aktor-aktris biasa disebut casting.
Ada lima macam teknik casting yaitu
• Casting by Ability
• Casting to Tipe
• Anti Tipe Casting
• Casting to Emotional Temperament
• Terapeyutic Casting
4. 2. SUTRADARA
Sutradara memiliki tugas sentral yang berat dalam pementasan tidak hanya acting para pemain yang harus diurusnya, tetapi juga kebutuhan yang berhubungan dengan artistik dan teknis. Sutradara perlu memiliki technical know how tentang bidang teknis dan artistik pementasan meskipun untuk bidang ini dipercayakan orang lain.
4. 3. PENATA PENTAS
Untuk menghidupkan peran dipentas, peralatan teknis akan membantu. Peralatan tersebut meliputi: pengaturan pentas atau Stage, dekorasi (secenery) tata lampu (lighting), tata suara (sound sistem) dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teknis pentas.
4. 4. PENATA ARTISTIK
Untuk mengukur secara artistic hal-hal yang berhubungan dengan pementasan secara langsung, biasanya terdapat bagian artistic. Bagian artistik berhubungan dengan tata rias (make up), tata busana (costum), tata musik dan efek suara (music dan sound effect).

5. KLASIFIKASI DRAMA
Kalsifikasi drama didasarkan atas jenis streotipe manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup[ dan kehidupan. Seorang pengarang drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan sebaliknya dapat juga dari sisi yang menyedihkan. Dapat juga seseorang memberikan variasi antara sedih dan gembira mencampurkan dua sikap itu karena dalam kehidupan yang real manusia tidak selalu sedih dan tidak selalu gembira. Karya yang sering memadukan dua sikap hidup manusia itu dipandang merupakan karya yang lebih baik karena kenyataan hidup yang dijumpai memang demikian adanya.
5. 1. Tragedi atau drama duka atau duka cerita
Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana besar. Tokoh-tokoh tersebut dalam kisah bencana ini penulis nsakah mengharapkan agar penontonya memandang kehidupan secara optimis. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidak sempurnaanya manusia. Pengarang berusaha untuk menempatkan dirinya secara tepat dalam kemelut kehidupan manusia itu. Kenyataan hidup yang dilukiskan berwarna romantis atau idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang sempurna atau yang paling baik dari hidup ini.

5. 2. Melodrama
Melodrama adalah lakon yang sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Penggarapan alur dan penokohan yang kurang dipertimbangkan secara crmat, maka cerita yang dilebih-lebihkan sehingga kurang m,eyakinkan penonton.
Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang tidak ternama (bukan tokoh agung seperti dalam tragedi). Dalam kehidpan sehari-hari sebutan melodramatik kepada seseorang seringkali merendahkan martabat orang tersebut karena dianggap berperilaku yang melebih-lebihkan perasaanya. Drama-drama Hamlet dan Macbeth disampiung bersifat tragedi juga bersifat melodrama. Ada beberapa hal yang dilebih-lebihkan dalam kedua drama besar itu. Romeo dan Yuliet dipandang dari cintanya yang begitu tinggi juga dapat dinyatakan sebagai melodrama.
5. 3. Komedi atau drama ria
Komedi adalah drama ringan yang sifatnay menghibur dan didalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Kelucuan bukan tujaun utama, maka nilai dramatic dari komedi (meskipun bersifat ringan) masih tetap dipelihara. Nilai dramatik tidak dikorbankan untuk kepentingn untuk mencari kelucuan (“Geer”). Hal ini berbeda denagn dagelan atau farce yang mudah mengorbankan nilai dramatik dari lakon demi kepentingan mencari kelucuan itu.
5. 4. Dagelan Farce
Dagelan adalah banyolan. Seringkali jenis drama ini disebut dengan komedi murahan atau komedi picisan atau komedi ketengan. Sering pula disebut tontonan konyol atau tontonan murahan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan dan tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembangan cerita sang tokoh. Isi cerita dagelan ini biasanya kasar, lentur dan fulgar.

6. JENIS DAN KONSEPSI DRAMA DAN TEATER
6. 1. Jenis-jenis drama
• Drama pendidiakn
• Drama duka
• Drama ria
• Closed drama (drama yang dibaca)
• Drama teatrikal
• Drama romantik drama adat
• Drama liturgi
• Drama simbolis
• Drama monolog
• Drama lingkungan
• Komedi intrik
• Drama mini kata
• Drama radio
• Drama televisi
• Drama eksperimental
• Sosio drama
• Melodrama
• Drama Absurd
• Drama Improvisasi
• Drama sejarah
6. 2. Klasifikasi drama berdasarkan aliran
Sifat-sifat drama berdasarkan aliran tidak bercorak kaki tetapi hanya merupakan ciri pokok saja. Tidak ada drama yang seratus persen mengikuti salah satu aliran tertentu.
• Aliran Klasik
• Aliran Romantik
• Aliran Realisme
• Aliran Ekspresionisme
• Aliran Natularisme
• Aliran Eksistensialisme

BAB II
PENYUTADARAAN DAN TEKNIK BERPERAN
1. PENYUTRADARAAN
Penyutradaraan berhubungan denagn kerja sejak perencanaan pementasan, sampai pementasan terakhir. Dalam drama tradisional dan wayang, sutradara disebut “dalang” peranan sutradara dalam teater tradisional tidak sepenting dan sebesar peranan sutradara dalam teater moderen. Seluruh pementasan drama moderen adalah tanggung jawab sutradara. Dialog, acting dan segala kelengkapan pentas diatur oleh sutradara. Dalam teater tradisional, sutradara hanya memberikan instruksi secara garis besar. Tugas sutradara drama moderen disamping melatih mengkorsinasikan aktor atau aktris, juga memimpin urusan unsur pentas seperti: penta lampu, penata pentas, penata musik, penata pakaian,, dekolator dan petugas lainnya.

2. TEKNIK BERPERAN

2.1 Teknik berperan menurut Rendra
Teknik berperan menurut rendra menyebutkan bahwa dalam pementasan ada empat sumber gaya, yaitu actor atau bintang, sutradara, lingkungan dan penulis. Dalam hal teknik berperan ini diharapkan actor menjadi sumber gaya dalam pementasan drama. Dalam pengajaran di sekolah, sutradara (dalam hal ini guru drama), kiranya juga dapat menjadi sumber gaya. Dalam ketoprak drama moderen, penulis drama menjadi sumber gaya.
2.2 Teknik Edward A. Wright
Menurut teknik Edward A. Wright ada lima syarat yang harus dimiliki seorang calon actor yaitu
• Sensitif
• Sensible
• Kualitas persona yang memadai
• Daya imajinasi yang kuat
• Stamina fisik yang baik.
2.3 Oscar Broket
Menurut teknik Oscar Broket menyebutkan tujuh langkah dalam latihan beracting yaitu:
• Latihan tubuh
• Latihan suara
• Observasi dan imjinasi
• Latihan konsentrasi
• Latihan teknik
• Latihan system acting
• Latihan untuk memperlentur keterampilan (1965: 396)
2.4 Constantin Stanislavsky
Tokoh yang dikenal sebagai pelopor pendekatan metode atau pendekatan kreatif, yang mementingkan latihan sukma, memberikan pedoman untuk mempersiapkan seorang actor (Stanislavsky, 1980) dalam buku terjemahanya Aslu Sani dinyatakan lima belas tahap latihan yang harus di lalui.
2.5 Richard Boleslavsky
Menurut Richard Boleslavsky dikenal sebagi murid Stanisslavsky, mengembangkan teori Stanisslvsky. Boleslavsky lebih menitik beratkan pada pembinaan sukma.
2.6 Adjib hamzah
Hamzah menggaris bawahi Boleslavsky dan Stanisslvsky bahwa dalam latihan acting sangat perlu motivasi, pusat perhatian dan mimik. Ditambahkan olehnya actor atau aktris selaul menghindari over acting. Karena itu, sutradara harus senantiasa memimpin latihan untuk menghindari over acting tersebut.

BAB III
1. PERLENGKAPAN, PEMNTASAN UNTUK AKTOR ATAU AKTRIS
1.1 Rias
Tata rias adalah seni yang menggunakan bahasa kosmetika untuk menghasilkan atau menciptakan wajah peran, sesuai dengan tuntutan lakon. Fungsi pokok tata rias adalah merubah watak seseorang baik dari segi fisik, psikis dan sosial. Fungsi bantuan rias adalah untuk memberikan tekanan terhadap perannya. Jika rias menuntut berperan sebagai fungsi pokok maka, berarti mengubah diri aktor ke dalam peran yang lain dari dirinya sendiri. Peran rias ini akan dibantu oleh tata sinar dan jarak antara pentas dan penonton.
1.2 Tata pakaian
Seperti halnya rias, tata pakaian, membantu actor membawakan perannya sesuai dengan tuntutan lakon. Jika rias dan kostum agak asing, dan jumlahnya cukup banyak, diperlukan latihan penyesuaian diri denagn rias dan kostum tersebut ( misalnya; dalam ” Oedipus karya rendra, yang menggunakan topeng dan juba)
2. PERLENGKAPAN DI PENTAS
2.1 Tata lampu
Lampu dapat membantu pengaruh psikologis dan juga dapat berfungsi sebagai ilustrasi atau hiasan atau petunjuk waktu (pagi, sore) dan suasana pentas. Lampu yang digunakan hendaknya berwarna-warni, agar mampu memberikan efek psikologis-psikologis dan variasi. Di samping itu juga harus ada, pengaturan derajat ketajaman sinar atau voltase. Juru lampu harus membuat alat tata lampu ini semudah mungkin, sepraktis mungkin dan harus di sertai perencanaan tata lampu yang mendetail untuk satu lakon yang disiapkan atau ligting plot.
2.2 Tata pentas dan dekorasi
Tata pentas biasanya dipimpin oleh stage manager digunakan istilah pentas, karena pementasan drama tidak serlalu di panggung, sehingga istilah panggung tidak digunakan dalam kaitan ini. Pementasan dapat di panggung, dapat di area.
Mempelajari tata pentas tidak luput dari mempelajari bentuk dan kontruksi pentas dari berbagai kurun waktu. Secara umum peranan dan perlengkapan pentas tidak jauh berbeda, dalam kaitan dengan tujuan pentas itu.
2.3 Ilustrasi musik dan tata suara
Di pentas dipasang pengeras suara denag microphoneyang cukup memadai. Peran microphone ini sangat penting sebab jika lakon drama ada pada dialog. Jika microphone tidak cukup dan tidak kuat kepekaannya (sensitif) maka kegagalan akan terjadi karena dialog tidak dapat di dengar penonton. Pengeras suara sebaiknya menyewa yang cukup sensitif denag daya watt out put yang besar, selain itu di pasang microphon yang memadai sehingga dialog akan dapat didengar penonton.
2.4 Beberapa catatan tambahan
Putu widjaya menyatakan ada dua tokoh yang sangat berjasa dalam perkembangan teater moderen di indonesia saat ini, yaitu rendra dan arifin. C Noer. Rendra dengan bengkel teaternya dan arifin. C Noer dengan teater kecilnya, secara terus menerus dan konsisten kedua orang itu menggunakan teater dengan eksperimen-eksperimenya yang baru. Melalui kedua tangan tokoh tersebut munculah wajah-wajah baru dalam dunia teater Indonesia. Misalnya; Rian Tiarn, Azuar A.N, Putu Widjaya, Syubach Asa, ikra negara dan lain-lain.

BAB IV
1. PROSES BELAJAR MENGAJAR
Yang dimaksud dengan proses belajar mengjar adalah apa yang disebut ”Metode” oleh Mac key di dalamnya terdapat keseluruhan peristiwa seperti:
• Seleksi
• Grasi
• Prsentasi
• Repetisi
• evaluasi
1.1 Sleksi atau pemilihan materi
Seleksi maeri ditentukan oleh pengajaran ini. Untuk melatih keterampilan mana, konsep, informasi, prspektif, apresiasi atau justru tujuan pengajaran drama dapat mentaskan atau dapat mengadakan festival drama. Hal ini memerlukan sleksi materi, dalam hal jenis, panjang, mutu,tingkat kesulitan, jumlah pemain dan sebagainya.
1.2 Gradasi (urutan penahapan)
Debora Elkin menyatakan, bahwa latihan-latihan drama harus mengarah pada pementasan dan festival drama. Untuk pementasan drama hendaknya dimulai dari role flying atau (bermain peran). Role flying lebih baik jika bersumber pada hasil observasi terhadap suatu kejadian tertentu (misalnya; percakapan di terminal bis, rapat desa, transaksi dagang, peristiwa-peristiwa yang terjadi).
1.3 Persentasi atau teknik penyampaian
Untuk dapat menghayati naskah drama dengan lebih baik, dapat juga di berikan tugas menulis naskah drama kepada siswa. Penulisan juga dimulai denag naskah role flying kemudian naskah dari saduran cerita atau cerita populer dari karya sastra, dongeng atau film.
1.4 Repetisi
Materi yang sudah diberikan harus diulangi dalam bentuk ulasan guru atau tanya jawab, dapat juga berwujud resensi terhadap drama yang sudah dibaca, dilihat atau ditulis. Parafrase dari bentuk drama kedalam bentuk prosa, dapat juga merupakan repetisi, contohnya; mendiskusi, menonton ditempat lain, mementaskan sendiri (naskah) menulis drama dengan tema yang sama dan sebagainya merupakan repetisi.
1.5 Evaluasi dalam pengajaran drama
• Evaluasi untuk apresiasi drama dalam hal pemahaman naskah, pada hakikatnya sama dengan evaluasi dalam pengajaran sastra.
• Tes informasi merupakan tingkat tes paling rendah, sebab itu b utir soal yang lebih banyak
• Evaluasi dalam tugas individual dalam penampilan memerankan dalam suatu tokoh.
• Tugas kelompok dalam mementaskan role flying.

2. STRATEGI PENGAJARAN TEKS DRAMA ( SEBAGAI KARYA SASTRA)
2.1 Strategi stratta
Strategi ini diciptakan oleh leslie stratta dan dapat diterapkan untuk drama dan prosa fiksi.seperti setelah dibicarakan oleh I. G. A. Wardani dalam makalah pengajaran sastra ada tiga pengajaran yaitu: tahap penjelajahan, interprestasi dan rekreasi.
2.2 Langkah –langkah penyajian
Sebelum guru dapat mengajarkan satu dramadi dalam kelasia harus mengadakan dua macam persiapan yaitu memilih bahan yang cocok untuk kelasnya dan menyusun persiapan guna dapat mengajarkan dengan baik, sebelum ia siap untuk membawa bahan itu ke kelas.
2.3 Strategi induktif Model Taba
Model ini dikemukakan oleh Hilda Taba. Model pengajarannya bersifat induktif, dan biasanya strategi induktif cocok untuk pembahasan sastra. Data-data sastra dapat langsung diteliti siswa, kemudian diadakan penyimpulan-penyimpulan. Hal ini sesuai dengan pendekatan apresiasi yang telah dikemukakan hilda Taba yaitu mengembangkan model pengajaran yang berorientasi pada pengelolaan informasi.
2.4 Strategi analisis
Strategi ini dissebut strategi analisis karena menitik beratkan pada frase analisis terhadap tema sebagai hasil akhir, setelah penguraian penokohan, plot, hubungan sebab akibat dan sebagainya, yang kemudian disusul dengan pemahaman hal atau unsur yang abstrak dari naskah drama. S.H burton menyatakan bahwa yang harus dianalisis adalahmakna harfiah dari naskah, sikap pengarang terhadap tuliasnya dan pembacanya tujuan yang hendak dicapai melalui tulisannya, jenis, dan gaya tulisan tersebut.
2.5 Strategi sinektik atau Model Gordon
Strategi ini dikembangkan oleh Gordon dalam bukunya The Metaforical Way of Learning knowling. Dalam strategi ini dikombinasikan oleh beberapa unsure yang berbeda dan nyata. Treffenger memasukan metode ini dalam pembentukan kreatifitas pada tahap kedua.
2.6 Role playing atau Bermain Peran
Sebetulnya metode ini termasuk pementasan drama yang sangat sederhana. Peran diambil dari kehidupan nyata sehari-hari (bukan imajinatif). Dari aspek role flying dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan memecahkan masalah, dan pemahaman terhadap permasalahan pokok.
2.7 Simulasi
Arti sederhana dari simulasi adalah ”peniruan dari keadaan yang sebenarnya”. Dari masa orde baru simulasi ini banyak sekali digunakan untuk penataran P/04 dari tingkat kampung sampai tingkat nasional (penulis adalah manggala BP/07). Strategi simulasi adalah strategi untuk memberikan kemungkinan murid agar ia dapat menguasi suatu ketrampilan melalui latihan dalam situasi tiruan.

3. STRATEGI PEMBELAJARAN DRAMA PENTAS

3.1 Pementasan drama di kelas
Pementasan drama di kelas terkait pelajaran bahasa indonesia aspek sastra dapat berupa pementasan satu naskah drama oleh satu kelompok, dapat berupa kelompok atau kelompok-kelompok yang dibentuk dari seluruh murid di kelas. Pada waktu pementasan, murid yang tidak mendapatkan giliran berpentas dapat ditugasi sebagai pengamat. Yang dipentaskan tentulah drama-drama pendek denagn durasi 30 menit sampai 35 menit sehingga tersisa waktu diskusi dalam satu jam pelajaran. Jika ada jam pelajaran yang berurutan, dapat mementaskan drama denagn durasi 60 menit.
3.2 Pementasan drama oleh teater sekolah
Pementasan oleh teater sekolah dapat memilih teks drama karya dramawan dengan durasi lebih dari satu jam(rata-rata 90 menit sampai 180 menit). Untuk pementasan sekolah hendaknya di pilih naskah-naskah yang kominakatif, yang mudah dipahami, memiliki konflik batin yang kuat dan atraktif.
3.3 Teknik pembinaan apresiasi drama
Kata ”pembinaan” di sin dapat bermakna dua yaitu pembinaan hal yang sudah terlaksana supaya lebih baik, dan juga berarti membuat yang belum ada, menyelenggaraan pembinaan. Sulitnya naskah drama dan belum tentu setiap guru mampu menyutradarai drama menjadikan prospek pengajaran drama kurang memuaskan. Tanpa pembaca naskah sendiri oleh siswa dan menonton pertunjukan drama sendiri, maka pembinaan ini sulit dilakukan.
3.4 Catatan tambahan tentang pemilihan materi
Pemilihan bahan naskah drama untuk diajarkan memenuhi kriteria:
• Sesuai dan menarik bagi tingakat kematangan jiwa murid
• Jika tingkat kesulitan bahasanya sesuai untuk tingkat kemampuan bahasa murid yang akan menggunakannya.
• Bahasanya sedapat mungkin mengguankan bahasa yang standar kecuali kalau cerita mempermaslahkan penggunaan dialeg.
• Isinya tidak bertentangan denag haluan negara kita

Daftar pustaka
 Waluyo, herman. 2001. Drama teori dan pengajaranya. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.